GTK Madrasah Diminta Identifikasi Hambatan Belajar Siswa, Dorong Pembelajaran Inklusif dan Diferensiatif
Portal Kawasan, JAKARTA – Komitmen Kementerian Agama dalam menghadirkan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan kembali ditegaskan. Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah diminta aktif mengidentifikasi hambatan belajar siswa serta menerapkan pembelajaran diferensiatif agar setiap peserta didik termasuk penyandang disabilitas dapat belajar secara optimal dan manusiawi.
Penegasan ini disampaikan Direktur GTK Madrasah Ditjen Pendidikan Islam, Thobib Al Asyhar, dalam Workshop Penguatan Pendataan Murid dengan Kesulitan Fungsional Disabilitas melalui Profil Belajar Siswa (PBS) yang berlangsung di Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Kegiatan yang digelar oleh Direktorat Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah ini bekerja sama dengan INOVASI dan Forum Pendidik Madrasah Inklusi (FPMI), dan berlangsung pada 8–11 Juli 2025.
“GTK Madrasah harus mampu mengenali hambatan belajar peserta didik, menyusun strategi pembelajaran yang sesuai, serta memberikan pendampingan yang tepat. Ini bukan semata soal teknis, tetapi juga menyangkut nilai kemanusiaan,” ujar Thobib.
1.070 Madrasah Inklusif, PBS Jadi Alat Pemenuhan Hak Pendidikan
Hingga saat ini, terdapat 1.070 madrasah di Indonesia yang telah menyelenggarakan pendidikan inklusif. Dari jumlah tersebut, 846 madrasah telah mendapatkan Surat Keputusan (SK) resmi dari Kementerian Agama.
Untuk mendukung kualitas layanan, Kemenag juga telah melatih lebih dari seribu kepala madrasah, pengawas, guru pembimbing khusus, dan fasilitator nasional dari berbagai wilayah.
Thobib menegaskan, implementasi PBS adalah bagian dari pelaksanaan PMA Nomor 1 Tahun 2024 tentang Akomodasi Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas. PBS menjadi instrumen penting dalam memastikan kebutuhan siswa disabilitas terpetakan dengan baik, sehingga kebijakan dan pendampingan bisa diberikan secara tepat sasaran.
Pendidikan Inklusi: Wujud Rasa Syukur dan Ujian Kemanusiaan
Menurut Thobib, kehadiran anak-anak dengan disabilitas adalah bagian dari keragaman ciptaan Tuhan yang harus diterima dengan penuh empati dan kepedulian.
“Keberadaan mereka bukan ketidaksempurnaan, melainkan cara Tuhan menguji kemanusiaan kita baik yang diberi keterbatasan maupun yang diberi kelengkapan fisik. Pendidikan inklusi adalah bentuk nyata rasa syukur dan ujian cinta kita pada sesama,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa madrasah sebagai institusi pendidikan Islam seharusnya menjadi pelopor dalam mewujudkan sistem pendidikan yang rahmatan lil ‘alamin.
“Pendidikan inklusi bukan sekadar amanat regulasi, tapi juga representasi nilai-nilai agama. Ketika kita bicara pendidikan inklusif, sejatinya kita sedang merancang masa depan peradaban yang lebih beradab,” ujarnya.
Seruan Aksi: Madrasah sebagai Ruang Ramah untuk Semua
Thobib menutup sambutannya dengan ajakan kepada para peserta workshop dari berbagai wilayah, termasuk Bali, NTT, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku untuk menindaklanjuti hasil PBS secara konkret di satuan pendidikan masing-masing.
“Mari jadikan madrasah sebagai ruang belajar yang ramah, terbuka, dan memanusiakan semua peserta didik. Inilah bentuk cinta kita yang sesungguhnya,” pungkasnya. (ALN)