Negara Tak Boleh Jadi Penonton: Deputi HAM Dorong Kebijakan Inklusif bagi Kelompok Rentan
Portal Kawasan, JAKARTA – Negara tidak boleh hanya berdiri sebagai penonton ketika warganya menghadapi kekerasan, diskriminasi, atau ketidakadilan. Pesan tegas itu disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Hak Asasi Manusia Kemenko Kumham Imipas, Ibnu Chuldun, saat membuka Rapat Sinkronisasi dan Koordinasi Kebijakan Pemberdayaan dan Pemajuan Hak Kelompok Rentan di The Westin Jakarta, Rabu (9/10).
Dalam forum yang dihadiri berbagai kementerian dan lembaga tersebut, Ibnu menekankan bahwa pemajuan hak kelompok rentan termasuk perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan pekerja migran merupakan indikator penting dari pembangunan hukum dan HAM yang berkeadilan.
“Kehadiran negara harus nyata baik melalui regulasi yang berpihak, layanan yang ramah, maupun perlindungan hukum yang efektif,” ujar Ibnu tegas.
Ia menjelaskan, Kemenko Kumham Imipas berperan strategis dalam mengoordinasikan dan menyinergikan kebijakan lintas sektor agar setiap lembaga negara memiliki perspektif yang sama dalam menghormati dan melindungi hak kelompok rentan. Tantangan di lapangan, kata Ibnu, masih cukup besar mulai dari kesenjangan akses informasi hukum hingga minimnya fasilitas pelayanan publik yang ramah disabilitas.
“Kami mendorong peningkatan kapasitas aparatur, penguatan sarana prasarana, dan optimalisasi anggaran agar layanan publik semakin setara bagi semua,” imbuhnya.
Masih Minim Kebijakan Pro-Perempuan
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, turut memaparkan realitas kebijakan nasional yang belum sepenuhnya berpihak. Ia mengungkap, dari lebih dari 28.000 kebijakan nasional selama 25 tahun terakhir, hanya sekitar 0,2 persen yang secara langsung mengatur pemenuhan hak perempuan dan penanganan kekerasan berbasis gender.
“Masih kuatnya norma patriarki, keterbatasan layanan di daerah, dan bias gender dalam aparat penegak hukum menjadi hambatan utama,” tutur Dahlia.
Komnas Perempuan, lanjutnya, juga mencatat peningkatan kasus kekerasan domestik, kekerasan berbasis siber, hingga femisida. Untuk itu, ia menilai perlu adanya langkah afirmatif agar kesetaraan substantif benar-benar terwujud, termasuk penghapusan perda yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas.

LPSK: 88 Persen Korban Kekerasan Seksual adalah Perempuan
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Achmadi mengungkapkan tingginya permohonan perlindungan dari kelompok rentan, terutama perempuan dan anak korban kekerasan seksual serta perdagangan orang.
“Sepanjang 2025, sekitar 88 persen korban kekerasan seksual yang dilindungi LPSK adalah perempuan. Kami juga menerima 53 permohonan dari penyandang disabilitas, sebagian besar korban kekerasan seksual,” papar Achmadi.
Ia menilai perlindungan korban masih menghadapi sejumlah kendala, mulai dari kurangnya pemahaman aparat hingga terbatasnya fasilitas ramah disabilitas. Untuk memperbaiki situasi ini, LPSK merekomendasikan penguatan regulasi, sinergi antar-lembaga, serta pemanfaatan teknologi digital ramah disabilitas dalam layanan pengaduan dan pemulihan korban.
Sinergi untuk Kebijakan yang Lebih Inklusif
Kegiatan yang diinisiasi oleh Asisten Deputi Koordinasi Pemberdayaan dan Pemajuan Hak Kelompok Rentan, Temmanengnga, ini menjadi ruang penting bagi lintas sektor untuk menyatukan arah kebijakan nasional yang responsif dan inklusif.
Forum ditutup dengan sesi diskusi interaktif yang menyoroti strategi kolaborasi antar kementerian dan lembaga agar kebijakan pembangunan nasional semakin berpihak pada kelompok rentan.
“Kebijakan inklusif bukan hanya soal regulasi, tetapi juga soal empati dan keberpihakan,” ujar Temmanengnga menutup sesi diskusi.
Kegiatan turut dihadiri oleh jajaran pejabat Kemenko Kumham Imipas, di antaranya Kepala Biro Umum dan Keuangan Dannie Firmansyah, Kepala Biro SDM, Organisasi, dan Hukum Achmad Fahrurazi, serta Kepala Biro MKKS Slamet Pramoedji.