Dua Wajah dalam Surat Cinta dan Perang
Portal Kawasan, JAKARTA – Di antara lembaran wahyu, terdapat satu surat yang berbeda dari lainnya. Tak ada salam pembuka, tak ada sapaan penuh kasih di awalnya.
Surat At-Taubah berdiri sendiri, membawa pesan tegas tanpa pelukan kelembutan. Seperti pedang yang dihunus, ia hadir dengan nada peringatan, menyampaikan ultimatum kepada mereka yang mengingkari perjanjian.
Dikatakan bahwa surat ini turun setelah Perjanjian Hudaibiyah dikhianati. Tidak ada lagi ruang untuk diplomasi; perintah diberikan, dan perang diumumkan bagi mereka yang menolak bertobat.
Karena itulah, kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” —yang sarat akan kasih dan kedamaian—tidak hadir di awal surat ini.

Sebagian ulama juga berpendapat bahwa Surat At-Taubah adalah kelanjutan dari Surat Al-Anfal, seperti dua bab dalam satu kisah yang sama.
Karena keduanya berbicara tentang peperangan dan hukum-hukumnya, maka salam pembuka dianggap tidak diperlukan, seolah peringatan dari surat sebelumnya masih menggema.
Namun, keheningan itu ternyata terjawab dalam surat lain. Surat An-Naml, surat yang membawa kisah kerajaan dan kebijaksanaan, justru menyimpan dua kali “Bismillahirrahmanirrahim”.
Seperti menyeimbangkan timbangan, di dalamnya terkandung salam kedua yang datang dari tangan seorang raja bijak: Nabi Sulaiman.

Dalam surat yang ia kirim kepada Ratu Bilqis, tertera pesan mulia:
“Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 30)
Seakan menambal yang hilang, dua kali Bismillah dalam Surat An-Naml menggenapkan jumlahnya dalam Al-Qur’an menjadi 114 kali, meskipun hanya ada 113 surat yang diawali dengan kalimat itu.
Ada saatnya kelembutan harus beristirahat, memberi jalan bagi ketegasan. Namun, keseimbangan selalu terjaga.
Jika satu surat hadir tanpa salam, maka surat lain menghadirkan salam dua kali, memastikan bahwa kasih dan ketegasan selalu berjalan berdampingan. (RFK/ALN)