Patahan Citarik: Urat Bumi yang Tertidur di Tengah Hiruk Pikuk Kota
JAKARTA – Di balik gemerlap lampu kota, di antara riuhnya jalanan dan kepadatan pemukiman, membentang sebuah garis tak kasatmata yang menyimpan kisah purba: Patahan Citarik.
Merilis info gempa dunia, ia bukan sekadar retakan di perut bumi — tapi sebuah urat bumi yang telah bergerak sejak 15 juta tahun silam, di zaman ketika manusia belum menjejakkan kaki di Nusantara.
Patahan Citarik, sang sesar raksasa, membentang sejauh 250 kilometer dari Pelabuhanratu di Sukabumi hingga menyentuh Ujung Pantai Utara Bekasi. Ia terbagi dalam tiga segmen: Segmen Selatan, Tengah, dan Utara, masing-masing menyimpan riwayat dan potensi yang berbeda, bagai nadi yang berdetak di tubuh pulau Jawa bagian barat.
Gerakannya perlahan, namun pasti. Dengan mekanisme sinistral strike-slip, ia bergeser ke kiri, seolah menyimpan amarah yang suatu waktu bisa saja terlepas. Meski tak kasatmata, keberadaannya dapat dibaca lewat garis-garis lurus perbukitan di sekitar Gunung Salak dan Citeureup, Bogor — bekas cakarannya yang abadi di tubuh bumi.
Seakan memiliki kehendak sendiri, patahan ini melewati kawasan-kawasan padat penduduk: Bogor, Cileungsi, Gunung Putri, hingga Bekasi. Ia berjalan di bawah kaki ribuan manusia yang tak menyadari bahwa bumi di bawahnya tengah menyusun ulang napasnya.
Sejarah Gempa: Dentuman-dentuman dari Perut Bumi
Meski jarang memperlihatkan amukannya, Patahan Citarik bukan tanpa sejarah. Ia telah beberapa kali berbisik lewat gempa-gempa kecil dan swarm, seakan mengingatkan manusia bahwa ia masih terjaga.
Pada tahun 1833 dan 1852, getarannya mengguncang Jakarta dan Bogor, meski kekuatannya tak sempat tercatat. Di tahun 1975, bumi bergetar di kaki Gunung Salak, dentumannya merambat hingga Pamijahan dan Ciawi. Lalu pada 2000, 2003, hingga 2008, ia kembali menggerakkan perut bumi, menyisakan kegelisahan di hati penduduk.
Puncaknya terjadi pada 10 Maret 2020, ketika gempa berkekuatan M5.0 mengguncang Kabandungan. Rumah-rumah retak, tanah bergoyang, dan ketakutan merebak. Seperti pertanda, swarm gempa juga merebak di 2019 dan 2020, seolah sang patahan sedang menarik napas panjang.
Dentuman di Tengah Kota: Gempa 10 April 2025
Dan pada 10 April 2025, Patahan Citarik kembali berbisik keras. Gempa M4.1 mengguncang Kota Bogor, hanya 2 km dari pusat kota. Warga panik, suara gemuruh terdengar bagai auman raksasa yang terbangun dari tidurnya.
Menurut Dr. Daryono, S.Si., M.Si., Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, suara itu berasal dari getaran frekuensi tinggi dekat permukaan, pertanda hiposenter yang sangat dangkal.
Dentuman dan ledakan ini bukan suara mistis, bukan pula hasil ulah manusia. Ia murni suara bumi — jeritan alam yang telah dipendam sekian lama.
Potensi Gempa Besar: Amukan yang Tak Bisa Ditebak
Patahan Citarik menyimpan potensi untuk mengguncang lebih besar. Namun kapan? Tak seorang pun tahu. Gempa adalah rahasia bumi, dan segala ramalan waktu hanyalah ilusi belaka. Bila ada yang berani menetapkan tanggal, waktu, dan kekuatan gempa, maka itu adalah kabar bohong yang menyesatkan.
Patahan Citarik tetap menjadi penjaga sunyi di bawah kaki kita, urat bumi yang terus bergerak, menunggu waktu untuk kembali berbicara lewat dentuman dan gemuruhnya. Sebuah pengingat bahwa bumi ini hidup — dan kita hanyalah tamu di atas punggungnya.