KDM dan Denting Genderang Kepemimpinan: Antara Sorot Lampu dan Bayang-Bayang
JAKARTA – Di panggung megah bernama Jawa Barat, sosok Dedi Mulyadi atau yang kini dielu-elukan sebagai KDM tiba-tiba menjadi aktor utama dalam lakon kepemimpinan yang tak terduga.
Seperti matahari yang mencuat dari balik kabut, ia muncul terang, menembus batas layar gawai hingga menggema di lorong-lorong sosial media dan ruang obrolan politik nasional.
Namanya menjelma mantra, dilafalkan dari meja redaksi hingga pos ronda. Potongan videonya seperti serpihan cahaya yang tak habis-habisnya dipantulkan layar kaca.
TikTok bersenandung tentangnya, Instagram memahat senyum rakyatnya, Facebook mengikat kenangan akan figur pemimpin yang dianggap “berbeda”.
Kini, kabar angin bertiup kencang—konon ia tengah “dipersiapkan” untuk panggung Pilpres 2029. Isu ini seperti kabut pagi yang menyusup pelan, tak terlihat jelas namun terasa dinginnya. Di warung kopi hingga ruang rapat elite, nama KDM seperti gemericik sungai yang terus mengalir, tak henti dibahas, tak mudah dibendung.
Ladang Popularitas: Dari Bibit Lokal ke Pohon Nasional
Jika popularitas adalah pohon rindang, maka akar-akarnya tumbuh dari tanah yang dahulu gersang. KDM tak lahir dari rahim panggung pusat, ia meniti jalan sunyi di Purwakarta, lalu menyusun bata kepemimpinan dua periode sebagai Bupati. Tak banyak yang tahu, hingga media menjadi lensa pembesar yang memantulkan sosoknya ke penjuru negeri.
Bukan sekadar keberuntungan, tetapi paduan waktu dan watak. Ia hadir di era ketika rakyat merindukan pemimpin yang tak sekadar berbicara, tapi berjalan bersama mereka.
Seperti Jokowi yang memperkenalkan gaya “blusukan”, KDM pun menghidangkan kepemimpinan rasa rakyat, tanpa sekat, tanpa meja panjang birokrasi.
Media: Lensa yang Mengubah Bayangan Jadi Wajah
Namun, seperti pantulan cermin, keberhasilan KDM juga lahir dari sorotan media. Tanpa kamera yang menyorot, kisah pemutihan pajak dan larangan pungli itu mungkin hanya bergaung di ruang dengar lokal. Tapi kini, ia seperti penyanyi jalanan yang suaranya direkam lalu viral, menjelma selebritas kebijakan.
Karakter, momentum, dan peran media menyatu dalam simfoni yang mengangkat namanya tinggi. Seperti kata Mitch Prinstein, popularitas adalah seni disukai dan KDM memainkan nadanya dengan apik.
Bayang-Bayang dan Kekhawatiran: Kepala Daerah di Persimpangan
Namun di balik gemerlap, ada kegelisahan yang tak berbunyi. Para kepala daerah lainnya, diam-diam menimbang-nimbang: adakah yang salah jika nama mereka tak sepopuler KDM? Publik, dalam euforia, mulai membandingkan, memuji satu pihak dan menurunkan yang lain, seakan satu gaya adalah resep mujarab bagi semua daerah.
Padahal, peta masalah tiap daerah ibarat sungai dengan arus berbeda. Tak semua pemimpin bisa berenang di air yang sama. Dan tak adil rasanya menilai kemampuan dari seberapa sering wajah mereka muncul di beranda medsos.
Jokowi di Solo dan Jokowi di Jakarta, dua cerita berbeda dalam satu buku yang sama. Maka tak elok menyamakan KDM di Jawa Barat dengan kepala daerah lain yang kini masih menanam benih di ladangnya masing-masing.
Perlombaan Maraton, Bukan Sprint
Popularitas, seperti bunga musim semi, memang cepat mekar tapi apakah ia bertahan saat badai datang? Pemimpin sejati bukan mereka yang paling cepat dikenal, tapi mereka yang paling konsisten menyelesaikan tugas hingga masa panen.
Lomba ini bukan sprint, melainkan maraton. Ia yang mengatur napas, menjaga langkah, dan tahu kapan mempercepat irama, itulah yang akan sampai di garis akhir dengan kepala tegak.
KDM bukanlah akhir cerita, hanya sebuah bab menarik dalam novel panjang bernama Kepemimpinan. Dan rakyat, sebagai pembaca, berhak menilai halaman demi halaman, bukan hanya dari sampul yang paling mencolok. (RXC/ALN)