Drama Hukum Tanpa Akhir: Sidang Putusan Lahan RSPON Cawang Kembali Ditunda untuk Keempat Kalinya!
JAKARTA – Sidang putusan perkara sengketa lahan di kawasan strategis Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON) Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono menjelma bak drama hukum tanpa akhir. Bayangkan saja, empat kali sidang pembacaan putusan ditunda! Empat kali! Seolah keadilan sedang bermain petak umpet di lorong gelap pengadilan.
Perkara bernomor 731/Pdt.G/2023/PN JKT.TIM ini semestinya menjadi panggung kebenaran. Namun, yang terjadi justru penundaan demi penundaan. Dimulai pada 4 Maret 2025, berlanjut 18 Maret, lalu 15 April karena ada pergantian hakim yang belum tuntas secara administratif, dan kini kembali ditunda pada 22 April karena sistem Ecourt—ibarat nyawa digital pengadilan—tiba-tiba ‘sakit’ dan tak bisa memproses unggahan putusan.
Kini, tanggal 29 April 2025 pun ditetapkan sebagai penantian berikutnya. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa tanggal itu bukan hanya episode kelima dari sinetron tak berkesudahan ini?
Bayu Juliandri, anak ahli waris H. Syatiri Nasri, tampak letih menanti kejelasan. “Ada apa sebenarnya? Mengapa keadilan terasa begitu jauh dan tertunda terus menerus? Saya hanya berharap tidak ada permainan di balik layar,” ujarnya dengan nada gusar, seolah menggenggam harapan terakhir pada sistem hukum negeri ini.
Meski dihantam gelombang penundaan, keyakinan Bayu tak runtuh. Ia yakin ayahnya, H. Syatiri Nasri, akan mendapatkan haknya. “Bukti-bukti sudah lengkap, semua persyaratan telah dipenuhi. Kami hanya ingin keputusan yang adil dan tidak diintervensi siapa pun.”
Kuasa hukum Insan Hadiansyah, SH, pun menunjukkan optimisme yang membara. Ia menegaskan bahwa Majelis Hakim sejauh ini bertindak objektif dan sangat teliti. Bahkan, pihak intervensi sudah lebih dulu ditolak lewat putusan sela yang kukuh berdasarkan hukum.
Ahli waris Mutjitaba Bin Mahadi, melalui Syatiri Nasri, menggenggam dokumen-dokumen otentik yang tak terbantahkan—dari letter C 615 dan C 472 hingga bukti pembayaran pajak yang sah.
Bahkan Kelurahan Cawang, melalui kuasa hukumnya, mengakui kebenaran nama Mutjitaba Bin Mahadi dalam sidang 15 Oktober 2024. Sebaliknya, pihak tergugat justru gagal membuktikan kepemilikan yang mereka klaim.
Di tengah panggung hukum yang seolah menjadi labirin tanpa ujung, publik kini menanti: akankah 29 April benar-benar menjadi hari keadilan, atau hanya babak baru dalam kisah yang kian absurd? (AGS/ALN)