Prabu Siliwangi: Raja Macan yang Menghilang di Balik Rimba Sejarah
PAKUAN PAJAJARAN – Langit terakhir tahun 1521 belum sempat merintik hujan, ketika suara gamelan duka menggema dari jantung Pakuan. Sejarah Cirebon mencatat, Prabu Siliwangi, sang raja macan, penjaga rimba tatar Sunda, menutup lembar akhir perjalanan hidupnya pada 31 Desember 1521.
Tak ada petir, tak ada semburat cahaya ilahi, hanya keheningan sakral yang melingkari wafatnya raja agung yang telah mengukir 39 tahun kejayaan.
Jejak kepergiannya diabadikan oleh tangan anaknya, Prabu Surawisesa, yang pada 1533 memahatkan kenangan itu pada Prasasti Batu Tulis di Bogor.
Tulisan batu itu bukan sekadar ukiran, melainkan tangis yang membatu, menjadi saksi bahwa seorang raja besar telah kembali ke tanah, bukan ke langit.
Dalam naskah Prasasti Tembaga Kebantenan, Sri Baduga Maharaja, nama luhur Prabu Siliwangi, dikenang sebagai Susuhunan agung di Pakuan.
Gelarnya selepas wafat, Sang Mokteng Rancamaya, menegaskan bahwa ia berpulang secara wajar dan dipusarakan di tanah bernama Rancamaya, bukan lenyap ke nirwana seperti dongeng yang dibisikan malam.
Legenda boleh berkata ia moksa, bersatu dengan para dewa dalam cahaya surgawi, namun sejarah menuliskan kisah yang lebih membumi. Ia tidak terbang ke angkasa, tapi turun diam ke pelukan bumi, menyatu dengan tanah yang pernah ia pimpin dengan bijaksana.
Raja telah tiada, namun suaranya masih bergema dalam prasasti dan ingatan. Sejarah mencatat, bukan sebagai dongeng, tapi sebagai gema yang menggetarkan, bahwa Prabu Siliwangi, sang macan Pajajaran, telah kembali ke rimba keabadian dengan kepala tegak dan warisan yang kekal. (AGS/ALN)