Betawi Bersatu di Tangkubanperahu: Masjid yang Menjadi Saksi Persatuan”
Portal Kawasan, JAKARTA – Di tengah hiruk-pikuk ibu kota yang terus berubah, ada satu tempat yang tetap berdiri sebagai simbol persatuan: Masjid Jami Tangkubanperahu. Masjid ini, yang terletak di Jalan Tangkubanperahu, Guntur, Jakarta Selatan, bukan hanya sekadar tempat ibadah, tetapi juga panggung bagi sejarah dan solidaritas Betawi.
Jumat (21/3/2025), dalam acara buka puasa bersama yang dihadiri tokoh-tokoh Betawi dan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, suasana penuh keakraban terasa kental. Fauzi Bowo, sesepuh lembaga adat Betawi sekaligus Gubernur DKI Jakarta 2007-2012, tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
”Hari ini saya menyaksikan hampir semua tokoh dan ormas Betawi hadir. Sejak terakhir dulu, saat saya jadi Ketua Bamus Betawi, ini pemandangan langka yang baru sekarang saya saksikan lagi,” ujar pria yang akrab disapa Bang Foke.
Masjid Jami Tangkubanperahu, yang telah berdiri selama lebih dari seabad, sekali lagi membuktikan dirinya sebagai titik temu bagi masyarakat Betawi, menghapus sekat-sekat perbedaan dan menyatukan kembali mereka yang sempat terpecah karena perbedaan pilihan dan pandangan.
Masjid sebagai Titik Temu
Ada dua alasan mengapa momen ini menjadi sangat berarti.
Pertama, masjid ini menjadi saksi bersatunya kembali para tokoh Betawi dalam mendukung Pramono Anung. Baik mereka yang pro maupun yang sempat berseberangan selama masa kampanye, kini duduk bersama, menyatakan kesiapannya mendukung kebijakan Pemprov DKI demi kepentingan bersama. Sikap legawa ini adalah pertanda baik bagi masa depan persatuan Betawi.
Kedua, ormas-ormas yang memiliki sejarah panjang persaingan dan perbedaan pendapat, kini hadir dalam suasana damai. “Semoga ini menjadi berkah ke depannya buat Betawi dan Jakarta,” tambah Bang Foke, yang juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Jerman.
Dari Sejarah ke Masa Depan
Sejarah mencatat, Masjid Jami Tangkubanperahu bukan sekadar bangunan, tetapi simbol keteguhan dan kebersamaan. Didirikan oleh saudagar keturunan Arab, Sayid Ahmad bin Muhammad bin Shahab, pada tahun 1908, masjid ini awalnya berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat. Namun, kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang ingin menjadikan Menteng sebagai kawasan elite membuat masjid ini harus dipindahkan.
Masyarakat Betawi yang tak rela kehilangan rumah ibadahnya bersatu menggotong masjid secara “plek ketiplek”—persis seperti aslinya—ke lokasi saat ini. Sebuah aksi yang tidak hanya menunjukkan semangat gotong royong, tetapi juga kecintaan mereka terhadap tempat ibadah dan persatuan komunitas.
Pada tahun 2012, di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo, Pemprov DKI Jakarta merenovasi masjid ini dengan anggaran sekitar Rp14 miliar, mengubahnya menjadi bangunan megah yang tetap mempertahankan nilai sejarahnya. Ciri khas bintang segi delapan yang menjadi ornamen utama masjid, kini semakin memperkuat identitasnya sebagai lambang keberkahan dan persatuan.
Persatuan yang Langgeng
Ketua DKM Masjid Jami Tangkubanperahu, Ust. Zaini Hamdan, meyakini bahwa masjid ini memiliki aura persatuan karena kedekatannya dengan para ulama besar Betawi yang telah menjadi jembatan umat.
“Jadi bukan tidak mungkin, bersatunya tokoh-tokoh Betawi di Tangkubanperahu hari ini menjadi pertanda awal dari persatuan yang lebih langgeng nantinya,” ujarnya optimis.
Di tengah dunia yang terus berubah, Masjid Jami Tangkubanperahu tetap berdiri kokoh—menjadi saksi bisu bahwa persatuan bukanlah sekadar kata-kata, melainkan warisan yang harus dijaga dan diperjuangkan. (AGS/ALN)