Cahaya Malam Ramadhan: Antara 11 dan 23 Rakaat
Portal Kawasan, JAKARTA – Di malam-malam Ramadhan, langit seperti lautan luas yang memantulkan cahaya ketenangan. Ada yang berlayar dengan perahu kecil, mengayuh dengan tenang dalam 11 kayuhan, menikmati setiap riak dengan kekhusyukan.
Ada pula yang memilih kapal besar, melaju dengan 23 kayuhan, mengarungi samudra ibadah dengan semangat yang membara. Keduanya menuju satu pelabuhan yang sama: ridha Allah.
Sebagian hamba Allah memilih 11 rakaat, mengikuti jejak Rasulullah ﷺ yang shalat malamnya ringan tapi penuh makna. Sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Tidaklah Rasulullah ﷺ menambah (shalat malam di Ramadhan atau di luar Ramadhan) lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, jangan ditanya tentang keindahan dan panjangnya, lalu beliau shalat empat rakaat lagi, jangan ditanya tentang keindahan dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga rakaat.” (HR. Bukhari No. 1147, Muslim No. 738)
Namun, ada pula yang menunaikan 23 rakaat, meneladani jejak para sahabat dan ulama setelahnya. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menghidupkan tarawih dengan 20 rakaat, ditambah witir 3 rakaat, yang kemudian diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin di masjid-masjid besar. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’:
“Dulu orang-orang shalat di masa Umar bin Khattab pada bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat.” (Al-Muwaththa’, 1/115)
Baik sebelas maupun dua puluh tiga, keduanya adalah perahu yang sah dalam mengarungi malam Ramadhan. Bukan jumlah yang menjadi esensi, tetapi ketundukan hati kepada-Nya.
Bukankah lautan tetaplah luas, meski perahu yang berlayar di atasnya berbeda-beda? Yang penting bukan seberapa banyak dayungan, tetapi bagaimana setiap kayuhan membawa kita semakin dekat dengan cahaya-Nya.
Maka, dalam keheningan Ramadhan, apakah kau memilih perahu kecil atau kapal besar, tetaplah berlayar menuju pelabuhan cinta-Nya. (RZK/AGS/ALN)