Dermaga Harapan atau Tambang Mark-Up? Surat Cinta dari Teluk Sulaiman untuk Kejagung
Portal Kawasan, JAKARTA – Jika ada tempat wisata yang cocok dikunjungi auditor negara dan jaksa agung, Teluuk Sulaiman mungkin pantas masuk katalog. Bukan karena panoramanya, melainkan karena jejak-jejak aroma anggaran yang lebih menyengat daripada bau solar di pinggir dermaga.
Bayangkan, sejak 2020 hingga 2025, dermaga yang seharusnya dibangun untuk menyambut kapal malah tampaknya lebih rajin menyambut dugaan mark-up. Dermaga ini bukan hanya pelabuhan pengumpan lokal, tapi juga pengumpan kecurigaan nasional.
Dalam orkestra pembangunan yang dirancang Dinas Perhubungan Kabupaten Berau, para pemain lamanya seperti tak pernah turun panggung. PT Jasin Effrin Jaya, misalnya, tampil sebagai pemenang dua tahun berturut-turut. Sungguh luar biasa konsistensinya. Kalau saja tender proyek dihitung seperti liga bola, perusahaan ini pasti juara bertahan.
Pada 2020, mereka “menang” proyek senilai Rp11 miliar. Tahun berikutnya, mereka “menang lagi” dengan angka yang lebih gemuk: Rp17 miliar. Semua tampak sah secara administratif, tapi kata Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi, ini bukan hanya sekadar hoki ini seperti jodoh tender yang dijaga baik-baik oleh takdir dan mungkin juga panitia.
“Kalau tidak ada kedekatan khusus, tidak mungkin menang dua kali berturut-turut,” ujar Uchok. Barangkali kita harus mulai membuat Undang-Undang Jarak Dekat dalam Tender Proyek.
Tak mau kalah, PT Cemara Megah Persada dan CV Mustika Intan Nia ikut meramaikan pesta proyek ini di tahun-tahun berikutnya, masing-masing mengantongi kontrak manis belasan miliar. Tampaknya, dermaga ini memang bukan sembarang pelabuhan. Ia adalah dermaga penuh cinta, antara anggaran dan angka-angka yang diduga menggelembung.
CBA kini berseru seperti penyair patah hati: Hai Kejagung, ke mana engkau selama ini? Apakah gedung Adhyaksa terlalu tinggi hingga tak mencium aroma beton yang tak sesuai SNI? Apakah dokumen HPS (Harga Perkiraan Sendiri) yang konon “dsesuaikan” itu terlalu lembut untuk disentuh auditor?
Uchok bahkan meminta Kejagung menyelami IP Address dari para pemenang tender. “Zaman sudah canggih, jangan dibohongi dengan modus klasik,” katanya. Mungkin yang dimaksud adalah: jangan hanya mengecek jumlah beton, cek juga jumlah email spam yang saling dikirim antarpanitia dan pemenang proyek.
Yang paling miris: dalam audit konstruksi, ada dugaan bahwa volume dan mutu beton tidak sesuai dengan standar. Bukannya membangun masa depan transportasi laut, kita malah dibawa menyeberang ke samudra dugaan tindak pidana.
Kini, rakyat Berau tak hanya menunggu kapal merapat, tapi juga menunggu aparat merapat. Karena kalau semua diam, proyek publik hanya akan jadi dermaga mimpi: megah dalam maket, bobrok dalam realisasi, dan berlumur anggaran dalam kenyataan.
Pertanyaannya kini: apakah Kjagung akan turun tangan, atau sekadar menurunkan alis? (AGS/ALN)