Gubernur Pramono: Budaya Betawi Harus Naik Kelas, Jadi Identitas Global Jakarta
Portal Kawasan, JAKARTA – Menyongsong usia ke-498 tahun Kota Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan komitmennya dalam mengangkat budaya Betawi sebagai identitas utama Ibu Kota.
Hal itu disampaikannya saat menghadiri Sarasehan ke-III Kaukus Muda Betawi bertajuk “Menyongsong 498 Tahun Kota Jakarta dan Lembaga Adat Masyarakat Betawi Tahun 2025”, yang digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Senin (2/6).
Didampingi Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin, Gubernur Pramono menyebut forum ini sebagai momentum strategis dalam memperkuat rasa kebersamaan, membangun dialog antarwarga, dan meneguhkan toleransi di tengah keragaman Jakarta.

“Ini bagian dari komitmen kita menyelesaikan amanat UU Nomor 2 Tahun 2024. Jakarta tengah bertransformasi menjadi kota global dan pusat ekonomi nasional. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kita akan mengalami kesulitan,” tegas Pramono.
Dalam pidatonya, ia menyoroti pentingnya budaya Betawi sebagai identitas kultural Jakarta yang harus terus dirawat dan dikembangkan. Menurutnya, kolaborasi lintas sektor mutlak diperlukan, termasuk dukungan pemerintah, budayawan, pelaku ekonomi, dan masyarakat luas.
“Budaya Betawi harus naik kelas. Kami sudah bekerja sama dengan sepuluh hotel berbintang lima agar budaya Betawi menjadi wajah utama Jakarta. Salah satunya, Hotel Borobudur selama dua bulan menyajikan makanan khas Betawi setiap hari,” ungkapnya.

Gubernur Pramono juga menekankan pentingnya peran generasi muda dalam menjaga warisan budaya. Karena itu, Pemprov DKI Jakarta menempatkan lembaga kebudayaan dan ormas Betawi sebagai mitra utama dalam pelestarian dan promosi budaya lokal.
“Sebagai bentuk komitmen nyata, bersama Bang Doel, kami menetapkan promosi budaya Betawi sebagai program prioritas 100 hari pertama pemerintahan. Festival Bandeng, Andilan Potong Kebo, pagelaran seni, hingga Lebaran Betawi adalah bagian dari gerakan nyata pelestarian,” tambahnya.
Pramono memastikan, upaya pelestarian budaya tidak berhenti pada seremoni, melainkan menjadi agenda berkelanjutan dalam membangun Jakarta sebagai kota yang modern namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai budaya lokal. (RXC/ALN)