Ironi ZIS: Ketika Kebaikan Dijadikan Target Setoran
Oleh : Aan Suherlan
Portal Kawasan, JAKARTA – Di sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan keikhlasan, zakat, infak, dan sedekah (ZIS) yang sejatinya adalah amalan sukarela justru berubah menjadi angka-angka dalam tabel target pencapaian.
Pemandangan ini terjadi di beberapa lembaga, di mana semangat berbagi yang seharusnya tumbuh dari hati justru diubah menjadi kewajiban administratif.
Pegawai-pegawai yang sudah dipusingkan dengan target kerja kini harus memikirkan bagaimana memenuhi target ZIS yang telah ditetapkan oleh atasan.
“Ayo, tahun ini kita harus meningkatkan pemasukan zakat minimal 30 persen! Jangan sampai kurang!” ujar seorang pimpinan lembaga dengan semangat. Seakan lupa bahwa zakat dan sedekah bukanlah pajak atau pungutan negara, tetapi panggilan jiwa.
Tidak sedikit warga yang mengeluh. Bukan karena enggan berbagi, tetapi karena rasa ikhlas mereka dipaksa menjadi angka yang dikejar. “Kami sih ikhlas, tapi kenapa rasanya malah seperti setor iuran wajib?” ungkap salah seorang warga dengan senyum masam.
Ironi ini semakin kental ketika di beberapa tempat, mereka yang tidak menyetor sesuai target harus menerima tatapan sinis. Bahkan, ada yang sampai dipertanyakan loyalitasnya terhadap lembaga atau komunitas.
Padahal, sejak dulu zakat, infak, dan sedekah diajarkan sebagai bentuk kepedulian, bukan sebagai beban administratif. Rasulullah sendiri tidak pernah menargetkan umatnya untuk menyetor zakat dengan angka-angka tertentu di papan presentasi.
Di tengah semangat mengejar angka, mungkin kita perlu bertanya: apakah ZIS masih berbicara tentang ketulusan, atau sudah menjadi sekadar laporan keuangan tahunan?