Jerit Senyap Seniman Perempuan: Dihantui Pelecehan hingga Dibatasi Ruang Berkarya
Portal Kawasan, JAKARTA – Di balik gemerlap panggung seni ibu kota, seniman perempuan masih menghadapi bayang-bayang ketidakadilan. Dari pelecehan seksual hingga pengerdilan intelektual, berbagai tantangan masih menghambat perjalanan mereka dalam berkarya.
Sorotan tajam ini mengemuka dalam Sarasehan Seniman Perempuan, yang digagas Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Puan Seni, Selasa (4/3/2025) di Taman Ismail Marzuki. Puluhan perempuan pegiat seni dari berbagai bidang—musik, teater, seni rupa, hingga sastra—hadir untuk berbagi suara dan pengalaman mereka.
Dari diskusi itu, terungkap fakta yang menyesakkan: pelecehan dan diskriminasi masih menjadi “bayaran” yang harus ditanggung perempuan demi eksistensi mereka di dunia seni.
Pelecehan yang Dibiarkan, Kesetaraan yang Diimpikan
Nadine Nadila, seorang pelaku teater, mengisahkan pengalamannya yang memilukan. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia sudah menghadapi pelecehan yang dianggap wajar oleh lingkungan sekitarnya.
“Dulu saya diberi tahu, ini harga yang harus dibayar demi membuat teater yang bagus. Saya pernah curhat ke teman perempuan, tapi dia bilang, ‘Tidak apa-apa, kalau dengan sutradara itu, pasti jadi’,” ungkap Nadine dalam siaran resmi yang diterima, Kamis (6/2).
Kesadaran tentang kesetaraan gender baru ia pahami belakangan. Ia pun berharap edukasi terkait pelecehan seksual bisa menjangkau kelompok usia lebih muda agar tidak ada lagi korban yang terjebak dalam ketidaktahuan.
“Masa Kedaluwarsa” dan Batas Tak Kasat Mata
Tak hanya pelecehan, seniman perempuan juga harus menghadapi stigma yang membatasi langkah mereka. Kartika Jahja dari Institute Ungu menyoroti bagaimana perempuan dalam seni sering dicap memiliki “tanggal kedaluwarsa”.

“Begitu dianggap ‘expired’, seniman perempuan seperti kehilangan panggung. Standar mereka mendadak menjadi tidak sesuai hanya karena usia atau status tertentu,” ujarnya.
Di bidang tertentu, pelecehan intelektual masih subur. Perempuan masih dianggap tak cukup kompeten di bidang yang didominasi laki-laki, seperti sound engineering. Akibatnya, regenerasi seniman perempuan di sektor ini pun tersendat.
Senada dengan itu, Gema Swaratyagita, seorang komponis, mengungkap diskriminasi yang dialami perempuan setelah menjadi ibu.
“Sejak hamil, perempuan sudah diragukan. ‘Tidak mungkin langsung berkarya setelah melahirkan, minimal butuh dua tahun.’ Akibatnya, banyak yang akhirnya berhenti berkarya karena stigma ini. Mereka tersendat, tak lagi menciptakan karya baru,” kata Gema.
Mencari Jalan Keluar
Situasi ini tak akan dibiarkan begitu saja. Anggota Komite Seni Rupa DKJ, Aquino Hayunta, memastikan bahwa temuan dari sarasehan ini akan dipetakan dan dibahas bersama Puan Seni untuk mencari solusi konkret.
Di sisi lain, Irawita, Bendahara Puan Seni Indonesia, membuka kemungkinan untuk menggelar pertemuan lanjutan, membahas hasil pemetaan masalah, dan menentukan langkah selanjutnya.
Bagi banyak seniman perempuan, perjuangan belum usai. Namun, suara mereka yang semakin nyaring adalah tanda bahwa perubahan sedang diperjuangkan. Seni seharusnya menjadi ruang kebebasan, bukan tempat di mana perempuan harus membayar harga yang tak seharusnya mereka tanggung. (STI/ALN)