Kartini: Lentera yang Menyalakan Samudra Gelap
JAKARTA – Di tengah hutan pekat adat dan belukar ketidakadilan, lahirlah seorang suluh kecil bernama Raden Ajeng Kartini. Dengan pena sebagai pedang dan pikirannya sebagai pelita, Kartini melayarkan perahu kecilnya melawan gelombang besar tradisi yang kaku.
Pada zamannya, perempuan bagaikan burung dalam sangkar emas — dihias, dipuji, namun tak bebas mengepakkan sayap. Kartini, dengan keberanian yang berpendar dari relung hatinya, menggeser jeruji itu satu demi satu.
Ia menulis, bukan hanya huruf-huruf, tetapi jembatan bagi kaum wanita menyeberangi sungai ketidaksetaraan.
Surat-suratnya, laksana hujan pertama di musim kemarau panjang, membasahi tanah tandus pemikiran, menumbuhkan benih harapan di hati perempuan Nusantara.

Dalam setiap kata yang ia torehkan, ada nyala api kecil yang mengundang perempuan untuk membuka mata dan menegakkan kepala.
Kartini bukan sekadar seorang putri bangsawan; ia adalah nakhoda perubahan. Di atas bahunya, perahu-perahu kecil para perempuan berlayar menuju cakrawala baru, di mana suara mereka tak lagi hanya gema di balik tembok rumah, melainkan gaung gagah di panggung kehidupan.
Kini, seabad lebih berlalu, ombak yang ia getarkan masih bergulung, membawa semangat Kartini ke setiap sudut negeri. Lentera yang dulu dinyalakannya tak pernah padam; ia kini bersinar di tangan-tangan perempuan yang berani bermimpi dan menapaki dunia, bukan lagi dengan ketundukan, tetapi dengan kebanggaan.
Hari ini, kita berdiri di atas tanah yang subur oleh perjuangannya, memandang langit luas yang dulu ia harapkan untuk semua perempuan: langit tanpa batas. (RXC/ALN)