Keraton Sumedang Larang: Sang Macan Pasundan yang Terlupakan!
SUMEDANG – Di tanah Sunda yang penuh kisah, di antara bukit-bukit yang berbisik tentang masa lalu, berdirilah Keraton Sumedang Larang—sebuah istana yang pernah menjadi simbol kebesaran, namun kini hanya bergema samar dalam lorong sejarah.
Ia bagaikan macan tua yang pernah mengaum lantang, namun kini tertunduk di balik bayang-bayang saudaranya yang lebih bersinar. Dahulu, ketika Kerajaan Pajajaran runtuh dan Sunda kehilangan mahkotanya, Sumedang Larang berdiri tegak sebagai penerus kejayaan.

Di bawah kepemimpinan Prabu Geusan Ulun, istana ini menjadi benteng terakhir kebanggaan Pasundan. Namun, takdir berkata lain.
Baca Juga : Binokasih: Mahkota Peradaban, Mahligai Kasundaan
Saat Mataram yang perkasa datang menundukkan tanah-tanah di Jawa, Sumedang Larang memilih untuk melebur, menjadi bagian dari kekuatan yang lebih besar.

Sejak saat itu, namanya perlahan memudar, tak seharum Keraton Yogyakarta, Surakarta, atau bahkan Cirebon, demikian seperti dikisahkan Luky Djohari Soemawilaga, selaku Radya Anom Kerato Sumedang Larang, saat ditemui Portal Kawasan, Jumat 4 April 2025.
Namun, apakah itu berarti ia telah mati? Tidak. Sumedang Larang masih bernapas, masih menyimpan jejak-jejak kejayaannya. Pusaka-pusaka kerajaan masih tersimpan rapi, menunggu mereka yang ingin menyimak cerita yang tersulam di dalamnya.

Arsitekturnya masih tegak, meski tidak semegah saudaranya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, sayang seribu sayang, tak banyak yang datang untuk menyapa.
Baca Juga : Gedung Srimanganti dan Warisan Budaya Sumedang, Harta Karun yang Terlupakan
Di saat Keraton Yogyakarta dan Surakarta terus berpesta dalam sorotan budaya dan sejarah, Sumedang Larang hanya bisa tersenyum lirih. Ia bagaikan pangeran yang terbuang, memiliki darah biru tetapi kehilangan singgasana.

“Promosi budaya yang minim, kurangnya perhatian dari khalayak, dan dominasi sejarah yang lebih berpihak pada kerajaan-kerajaan lain membuat namanya tersisih dari percakapan sejarah besar Nusantara,” urai Luky.
Namun, harapan belum pupus. Di era ketika budaya semakin dihargai, Sumedang Larang bisa bangkit kembali. Dengan pusaka yang masih menyala, dengan kisah yang masih bergema, ia menunggu para pewaris sejarah untuk menghidupkannya kembali.

Akankah kita membiarkan macan tua ini tidur selamanya, ataukah kita akan membangunkannya agar kembali mengaum di persada Sunda? Sejarah menunggu jawabannya. (ALN)