Legenda Kerbau Sakti asal Karangpakuan, Simak Kisahnya!
Portal Kawasan, SUMEDANG – Dahulu kala di sebuah hutan di kaki gunung Surian yang di kelilingi oleh sungai Cimanuk, terdapat sekawanan kerbau yang hidup berdampingan bersama hewan lainnya. Dari sekawanan kerbau tersebut lahirlah seekor kerbau jantan dengan warna putih alias bule.
Semua kawanan kerbau pun memperhatikannya dan merasa aneh, kemudian pimpinannya datang dan menanyakan ke si ibu kerbau, “mengapa anakmu berwarna putih? dan sangat berbeda dengan kita, apakah ini suatu kutukan dari Hyang Agung untuk kawanan kita?”.
Sang ibu pun menjawab “mohon ampun, hamba sungguh tidak tahu atas apa yang terjadi kepada anak hamba ini sehingga ia berbeda dengan yang lain,” kata sang Ibu. “Hmm..aku akan putuskan bahwa kau dan anakmu aku asingkan dari kawanan ini,” ujar pemimpin kawanan tersebut .
Dan semua kawanan kerbau itupun menyutujuinya dengan hati lirih dan tetesan air mata sang ibu yang sangat terpaksa dia dan anaknya pergi meninggalkan kawanan tersebut. Dalam perjalanan, sang ibu dengan anaknya mereka tak sengaja menemukan tempat yang indah, tak jauh dari sumber mata air yang bernama Panyusuhan. Mereka memutuskan untuk menetap disana karena jarak nya tidak terlalu jauh dari Gunung Surian.
Hari demi hari waktu demi waktu mereka lalui dan si anak kerbau bule pun beranjak dewasa. Suatu ketika si bule pun bertanya kepada ibunya. “Ibu, mengapa aku tidak boleh bergabung dengan kawanan mereka, apakah karena aku ini buruk rupa sehingga berbeda dengan kalian?”. Sang ibu pun tersenyum. “Anakku, engkau di mata ibu bagaikan batu berkilau yang sangat indah dan tidak ada yang bisa menggantikanya”. “Lantas, mengapa aku tidak boleh menyusul kawanan ke gunung Surian?”. Dengan berat hati sang ibu pun menceritan awal mula dari semuanya.
Dengan hati marah, sang anak bertekad kembali ke kawanan meski sang ibu telah melarangnya. Sesampainya di lokasi kawanan tersebut, si bule pun menjadi bahan cacian serta olok-olok, bahkan tak sedikit yang mengusirnya dan menyeruduk dengan tanduk mereka.
Hal itu pun menarik perhatian sang pemimpin kawanan dan dia mendekatinya dan berkata. “Bukankah aku telah mengusirmu dan ibumu, karena akan menjadi bencana untuk kawanan ini?”. Si bule pun menjawab, “bukankah aku sama seperti kalian?. Dan aku berhak bergabung dengan kawanan ini!”. Jawaban si bule membuat marah sang pemimpin dengan kekuatannya langsung dia menyeruduk dengan tanduknya yang sangat kokoh dan membuat si bule terpental.
Namun, ia pun berdiri kembali dan mencoba melawan, namun pertarungan yang tidak seimbang itu pun dimenangkan oleh sang pemimpin kawanan tersebut. Dengan badan yang terluka parah dan darah bercucuran, si bulepun diusir untuk yang kedua kalinya. Kakinya yang pincang dan tubuh penuh luka, dia kembali pulang ke tempat ibunya berada. Diperjalanan pulang, hujan lebat disertai petir mengiringi langkah si bule yang terburu-buru. Iapun akhirnya terperosok ke dalam jurang lalu tercebur ke sungai Cimanuk. Beruntung, dia berhasil menyebrangi sungai tersebut. Konon, kejadian si bule tercebur ke sungai Cimanuk, kini dinamai masyarakat setempat dengan nama Leuwi Lembu.
Ceritapun berlanjut, si bule pun berjalan tanpa arah karena tersesat. Saking lelahnya, diapun beristirahat di bawah pohon dan tempat istirahatnya pun, kini dinamai Cilembu. Dalam peristirahatanya, sang kerbau bermimpi didatangi oleh sosok manusia tua berjenggot panjang yang bernama ‘Mbah Dongkol, sang kerbau bule itu disarankan untuk bertapa di daerah mata air Panyusuhan dan memberikan petunjuk jalan pulang.
Tak lama kemudian, sang kerbau pun terbangun serta melanjutkan perjalanannya. Setelah sampai, ia pun bertemu dengan sang ibu dan menceritakan kejadian yang menimpanya dan ada seorang manusia menyarankan untuk bertapa di petilasan Buyut Panyusuhan.
Sang ibu pun memaklumi dan merestui nya. Selama 40 hari, si bule bertapa di tempat tersebut dan pada hari terakhir ada sambaran petir mengenai pohon tempat bersandar, dia pun terbangun dan merasa sangat haus hingga meminum mata air panyusuhan. Tak lama setelah ia minum air keajaiban, tubuhnya merasa prima dan kuat, mungkin Sanghyang Agung mengabulkan doanya. Ia pun mencoba kekuatanya dengan menyeruduk pohon besar dan tumbang seketika.
Setelah itu, dia pun kembali ke kawanan dan menantang sang pemimpin tersebut. Konon, pertempuran si bule dengan pimpinan kawanan itu, dilakukan selama 3 hari 3 malam di hamparan tanah lapang, dikarenakan sama-sama kuat, tanah yang lapang itupun menjadi legok berkelok sehingga tempat pertarungan itupun dinamai Jami Lega.
Diakhir pertarungan, si bule pun berhasil memukul dengan tanduknya tepat di tengkorak kepala dan mengakibatkan pecahnya kepala sang pemimpin kawanan tersebut hingga mati seketika. Tak lama kemudian, si bule pun menjadi pemimpin kawanan tersebut, ia dikenal bijak dalam memimpin tanpa membeda bedakan kawanan.
Tempat kerbau putih bertapa, kini terletak di bawah mata air Panyusuhan yang hampir terendam oleh Waduk Jati Gede. Masyarakat pun sering berziarah dan berdoa untuk menitipkan hewan ternaknya supaya aman. Perlu diketahui, masyarakat Cipaku, kerap melepas hewan ternaknya di tengah kebun dan hutan, jauh dari pemukiman penduduk tanpa khawatir akan kehilangan dan terbukti aman dan hanya ada di Kabuyutan Cipaku, hingga sekarang. Wallahua’lam bissawab semua terjadi karena Allah semata.
Sumber : Masyarakat dan hasil olah batin penulis (Dens Badunk/ALN)