Lentera yang Lelah: Antara Cahaya Iman dan Api Penghakiman
Portal Kawasan, JAKARTA – Di tengah gemuruh dunia yang berlomba menumpuk waktu, masih ada jiwa-jiwa yang percaya bahwa lentera iman harus terus menyala.
Sholat, katanya, adalah tetesan minyak yang menjaga nyala itu tetap hidup—sebuah bisik rahasia antara hamba dan Tuhannya.
Begitu sakralnya ritual ini, hingga manusia beriman berlomba-lomba menuangkan minyak dalam takaran yang berlapis—sholat wajib, sunnah, rawatib, hingga tahajud di sepertiga malam.

Seolah Tuhan hanya bersedia hadir pada mereka yang rajin menyalakan obor dengan tangan-tangan yang tak pernah lelah.
Namun, tak semua cahaya bersinar dari hati yang tulus. Ada lentera yang menyala sekadar agar dilihat terang, berpendar tanpa kehangatan. Mereka yang sholat tanpa hati kerap dicap munafik—ironisnya, masih dianggap lebih baik dibanding mereka yang membiarkan lenteranya padam.
“Munafik masih sholat, tempatnya di neraka. Lalu bagaimana dengan yang tidak sholat?”
Pertanyaan ini menggantung di udara, seperti asap dupa yang perlahan pudar, menunggu jawaban dari hati yang bersih atau hanya dari lidah yang gemar menghakimi.

Namun di sudut-sudut dunia yang sepi, ada lentera yang dipadamkan bukan karena tak peduli, melainkan karena lelah oleh dogma yang lebih gemar menebar api ketakutan daripada cahaya kasih sayang.
Mereka tak sibuk menakar surga atau neraka, mungkin karena memilih berjalan dengan cahaya lain—cahaya yang tak tampak oleh mata manusia, tetapi tetap menuntun langkah di jalan yang sunyi. (AGS/ALN)