Media Berguguran, Badai PHK Mengamuk Tanpa Ampun
JAKARTA – 2025 baru saja membuka pintunya, namun angin tak bersahabat langsung bertiup kencang. Bukan sekadar angin biasa, ia datang sebagai badai, dan kali ini sasarannya adalah dunia media.
Satu per satu, perusahaan media digulung, diseret ke tepian krisis oleh arus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang menyisakan puing-puing harapan para jurnalis.
Di jagat maya, terutama X (sebelumnya Twitter), lini masa memerah. Suara netizen berdesing, membawa kabar pilu dari balik tembok redaksi. Akun @MutadhaOne1 menjadi corong pertama yang meniup peluit: “Kompas TV PHK 150 orang, TV One 75 orang, CNN Indonesia 200 orang, Emtek 100 orang. VIVA akan menutup kantor di Pulogadung.
MNC memangkas dari 10 pemred menjadi 3.” Kata-kata itu, seperti denting lonceng kematian bagi banyak ruang kerja yang dulu sibuk menenun berita.

Video-video perpisahan pun mengalir deras. Seorang jurnalis iNews di Makassar mengucapkan salam terakhirnya di depan kamera. Di Surabaya, rekan-rekannya berfoto bersama, bukan untuk merayakan prestasi, melainkan mengenang kebersamaan terakhir. Jawa Timur juga mengirim isyarat pilu, MNC Media-nya tak lagi bernyawa seperti dulu.
Bahkan sebuah media tua di Surabaya, yang konon pernah berdiri gagah di puncak kejayaan, kini harus pelan-pelan merobek halaman masa depannya sendiri. PHK telah mengetuk pintunya sejak pertengahan tahun lalu, dan tampaknya belum juga berhenti.
Meski belum semua informasi ini terverifikasi secara resmi, denyut-denyut pilu ini terlalu nyata untuk diabaikan. Para jurnalis dan netizen menjadi saksi, bahkan kadang korban, dari pergeseran besar industri.
Media konvensional terengah-engah dikejar bayang-bayang digital yang lincah dan murah. Di tengah kekeringan pemasukan, media hanya bisa merapat ke satu-satunya dermaga yang masih terbuka: pemerintah.
Di negeri ini, badai PHK tampaknya belum ingin berlalu. Ia terus menggelayut, membawa satu pesan tajam: berita tak lagi sekadar soal kebenaran, tapi juga soal bertahan hidup. (RXC/AGS/ALN)