Melankolia di Sungai Tonegawa: Kisah Nazar, Perantau yang Menemukan Harap di Negeri Sakura
Portal Kawasan, MAEBASHI, JEPANG – Di balik deru kereta Jomo yang perlahan melintasi rel sunyi, seorang pria asal Indonesia bernama Nazar memulai perjalanan barunya di tanah asing. Bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi pergeseran batin—dari luka menuju penerimaan, dari kehilangan menuju harapan.
Chou Maebashi, kota kecil yang menyambut Nazar dengan udara sejuk dan senyum warga yang tulus, bagai pelukan hangat setelah musim dingin yang panjang.
Di matanya, kota ini bukan sekadar destinasi kerja, tetapi seperti lembar kosong tempat luka-luka lama bisa ditulis ulang menjadi puisi kehidupan.
Di stasiun terakhir, gadis-gadis berseragam hitam-putih berdiri seperti barisan kelopak sakura yang gugur perlahan, simbol keanggunan dan pertumbuhan. Nazar menapaki jalan setapak sejauh enam kilometer, namun setiap langkah terasa ringan.

Mungkin karena Maebashi menyuguhkan keindahan yang tak tertulis dalam brosur wisata, melainkan terukir dalam gestur sederhana dan wajah-wajah ramah.
Di tepi Sungai Tonegawa, ia berhenti. Jembatan beton menjulur seperti sketsa masa depan, teguh dan menjanjikan. Hujan tiba-tiba mengguyur, deras dan dingin, seolah langit ikut meratapi serpihan hati yang masih belum utuh.
Namun Nazar tak lari, tak berteduh. Ia menatap langit, lalu menatap dirinya sendiri, dalam diam yang menggigil, ia merasakan sesuatu yang aneh: kelegaan.
“Beristirahatlah sejenak dari luka,” bisik kota ini lewat angin, lewat riak sungai, lewat bayangan ilalang dan rumah-rumah kayu yang bersahaja. Tonegawa seakan menjadi saksi bisu—menampung air hujan, dan bersama itu, membawa patah hati Nazar hanyut ke hilir, menuju muara ketenangan di Kamakura.
Dari arah lain, anak sungai Hirose mengalir, bening dan tenang, menyampaikan pesan yang tak kalah dalam: “Ini bukan tempat untuk berkabung, Nazar. Ini panggung barumu. Hidupkan kembali harapanmu.”
Lamunannya terhenti oleh tepukan di bahu. Padmu, rekan sekerja dari Nepal, berdiri sambil tersenyum. Delapan tahun ia menapaki tanah Jepang, delapan tahun pula ia menanam impian dan tak pernah menyerah.

“Apa yang kau pikirkan, sahabat?” tanya Padmu. “Orang-orang yang pernah menjatuhkanmu? Atau cinta yang tak kembali?”
Ia tertawa lirih, tapi matanya tajam menyiratkan pengalaman. “Lupakan semua. Di sini kita bukan siapa-siapa, tapi kita bisa jadi siapa pun. Dan soal cinta, percayalah, ia akan datang, seindah Gunung Akagi, secantik Danau Haruna.”
Tiga hari berlalu, dan kata-kata itu perlahan menjelma nyata. Nazar berkenalan dengan Shiina, seorang gadis Tokyo yang tinggal di Maebashi. Tingginya menjulang, seperti harapan Nazar yang mulai tumbuh dari puing-puing luka. Tak ada gelar cinta, tak ada janji. Hanya aliran pelan, seperti Hirose, yang setia pada takdirnya sendiri.
Hari ini, Nazar masih duduk di tepi Tonegawa, sesekali tersenyum saat mengenang tanah air yang jauh. Tapi ia tahu, langkahnya telah benar. Maebashi mungkin bukan rumah, tapi ia cukup hangat untuk menyembuhkan, cukup sunyi untuk mendengar suara hati.
Selamat datang, Nazar, di tanah baru yang tak menjanjikan keajaiban, tapi cukup memberi ruang bagi luka untuk sembuh. Di antara ilalang, asap rokok, dan senyum orang asing—hidupmu dimulai kembali.
Penulis : Rey