Negeri yang Terkoyak Dua Kali: Gempa dan Perang Saudara
MYANMAR – Dalam sekejap, ‘Negeri Seribu Pagoda’, Myanmar menggeliat dalam jerit luka. Tanah yang selama ini menjadi alas kehidupan tiba-tiba mengguncang tak terkira, seolah ingin menyampaikan derita yang selama ini tertahan.
Dalam kepingan debu dan reruntuhan, 3.354 nyawa terlepas dari tubuhnya, kembali ke pelukan semesta. Lebih dari 4.500 orang terluka—tubuh mereka remuk, namun jiwa mereka lebih dulu diguncang.

Sementara 220 jiwa masih hilang, tertelan sunyi di antara bongkahan duka yang belum sempat diangkat, demikian seperti dilaporkan tim Portal Kawasan langsung dari Myanmar, Minggu 6 April 2025.
Baca Juga : Indonesia Bergerak, Bumi Merintih, Bantuan untuk Myanmar Segera Melaju
Lebih dari tiga juta insan kini berjalan di atas puing-puing harapan, tersaruk di tengah luka yang belum sembuh dari perang saudara yang telah menahun.

Mereka bukan hanya kehilangan rumah—mereka kehilangan tempat untuk bermimpi, kehilangan kenangan yang dulu tertulis di dinding kamar, kehilangan ketenangan yang sederhana: atap untuk berteduh dan lantai untuk bersujud.
Di berbagai penjuru Myanmar—dari Yangon yang megah hingga Mandalay yang sibuk—para pengungsi menggigil di bawah langit terbuka.

Mereka tidur di luar rumah yang kini hanya tinggal bayang, atau di tempat penampungan darurat yang tak mampu menghangatkan dinginnya kehilangan.
Baca Juga : Luka Bumi dan Tangan-tangan Penyelamat: Operasi Kemanusiaan di Nay Pyi Taw
Ibu memeluk anaknya, tak hanya untuk mengusir dingin malam, tapi untuk meredam guncangan trauma yang menggema lebih keras dari gempa itu sendiri.

Namun di tengah gelap, setitik cahaya datang dari seberang batas. Dari timur dan barat, utara dan selatan—tim penyelamat dari Tiongkok, Rusia, India, Singapura, dan Filipina datang membawa harapan.
Mereka menggali tak hanya tubuh, tetapi juga kemungkinan. Mereka mencari denyut kehidupan di sela puing, mendengar rintihan di antara batu, dan menanamkan benih solidaritas di tanah yang tengah menangis.

Ini bukan hanya tentang gempa bumi. Ini tentang manusia yang mencoba bertahan ketika dunia seolah ambruk. Ini tentang kemanusiaan yang diuji dalam kesunyian.
Dan di tengah derita yang begitu purba, kita diingatkan: bahwa dalam kepedihan yang mendalam, manusia selalu menemukan cara untuk mencintai, saling menguatkan, dan bertahan—meski hanya dengan segenggam harapan. (QWK/RXC/ALN)