Pancasila Tergeser? Seminar Nasional Soroti Bahaya Liberalisme dan Kapitalisme di Tengah Demokrasi Indonesia
Portal Kawasan, DENPASAR – Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, kini tengah menghadapi tantangan serius. Ideologi liberal dan kapitalis dinilai mulai menggeser peran sentralnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Isu ini mencuat dalam seminar nasional bertajuk “Meneguhkan Persatuan Melalui Pemilu dan Kaji Ulang UUD NRI 1945: Sebuah Diskursus Kritis” yang digelar di Universitas Warmadewa, Denpasar.
Diselenggarakan atas kerja sama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Universitas Indonesia, dan Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri (FOKO), seminar ini bertempat di Aula Ajnadewi, Fakultas Teknik dan Perencanaan. Hadir pula perwakilan berbagai universitas dari seluruh Indonesia, khususnya dari program studi Ilmu Pemerintahan.
Seminar dibuka secara resmi oleh Wakil Rektor III Universitas Warmadewa, Dr. Nyoman Sujana, SH., H.Hum. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas lembaga dalam menjaga marwah demokrasi dan membangun integritas bangsa secara kolektif.

Kritik Tajam atas Demokrasi dan Amandemen UUD 1945
Diskusi ini menjadi relevan usai Mahkamah Konstitusi pada Mei 2025 mengeluarkan putusan fenomenal: Pemilu serentak lima kotak (DPR, DPD, Presiden/Wakil, DPRD, dan Pemilukada) harus diselenggarakan secara terpisah dalam rentang dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan nasional.
“Putusan ini harus dikaji dalam bingkai konstitusional. Sudah saatnya amandemen UUD 1945 ditinjau ulang, bukan untuk mengingkari reformasi, tapi demi memperkuat demokrasi konstitusional yang berpihak pada persatuan dan kedaulatan rakyat sejati,” ujar moderator seminar Drs. I Nyoman Wiratmaja, M.Si.
Ideologi Pancasila yang Memudar
Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono, Sekjen FOKO, dalam keynote speech-nya memaparkan hasil FGD lintas kampus sejak 2023 yang mengkaji implementasi Pancasila pasca reformasi. “Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Pancasila tidak lagi membumi. Ideologi liberal dan kapitalis telah secara perlahan menggantikan Pancasila dari ruang publik dan perilaku masyarakat,” tegasnya.

Menurutnya, metamorfosis gaya hidup masyarakat ke arah liberalisme dan kapitalisme menandai pergeseran nilai yang sangat fundamental, yang jika tidak dikendalikan bisa menggerus jati diri bangsa.
Krisis Etika dalam Politik
Senada dengan itu, Ketua Umum AIPI Pusat, Prof. Alfitra Salamm, APU, mengkritisi fenomena politik uang dan dominasi bantuan sosial (bansos) dalam kontestasi pemilu. “Pemilu yang jujur dan beretika kini semakin langka. Kita tidak hanya menghadapi krisis politik, tapi juga krisis etika,” ujarnya.
Ia menyebut Indonesia mengalami defisit etika politik, di mana kepentingan elektoral sesaat lebih dominan dibanding kepentingan jangka panjang berbangsa.

Demokrasi Vs Budaya Gotong Royong
Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Warmadewa, Prof. Dr. A.A. Gede Oka Wisnumurti, M.Si., menekankan pentingnya memahami demokrasi dalam konteks budaya lokal Indonesia yang mengedepankan gotong royong. “Demokrasi kita sering berbenturan dengan budaya. Kita terlalu mudah menghujat, tapi tidak mau dikritik. Ini persoalan etika yang serius,” jelasnya.
Ia juga menyarankan agar MPR kembali dimaknai sebagai lembaga tertinggi negara, yang mewakili rakyat sekaligus daerah, demi menjaga penghormatan atas keragaman budaya dari Sabang hingga Merauke.
Catatan Akhir
Seminar ini menjadi refleksi kritis atas arah demokrasi Indonesia, sekaligus ajakan untuk kembali pada nilai-nilai dasar Pancasila. Ketika politik kian pragmatis dan etika makin terabaikan, perlu ada langkah nyata untuk menjaga agar bangsa ini tidak kehilangan arah. Pancasila bukan hanya simbol, tetapi kompas moral yang harus tetap membumi. (ALN)