Penguatan Mediator Non Hakim, Langkah Mahkamah Agung Wujudkan Keadilan Restoratif
SURABAYA – Upaya membangun sistem peradilan yang lebih humanis kembali digaungkan. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Dr. H. Sobandi, S.H., M.H., menegaskan bahwa penguatan peran mediator non hakim menjadi kunci utama dalam mewujudkan keadilan restoratif di Indonesia.
Lewat tema “Penguatan Peran Mediator Non Hakim di Lembaga Peradilan Dalam Upaya Mewujudkan Keadilan Restoratif”.
“Penguatan mediasi adalah jalan menuju keadilan yang lebih memanusiakan dan berkeadilan,” tegas Dr. Sobandi, melalui siaran pers yang diterima, Minggu(27/04).
Ia menyoroti pergeseran paradigma dalam sistem peradilan Indonesia, dari pendekatan retributif menuju restoratif—sebuah pendekatan yang mengutamakan pemulihan hubungan sosial dan keadilan bagi semua pihak.
Menurutnya, mediator non hakim berperan vital sebagai jembatan komunikasi dan penyelesaian damai dalam masyarakat.
Namun, di balik urgensi tersebut, Dr. Sobandi juga mengungkap sejumlah tantangan besar yang masih membayangi eksistensi mediator non hakim. Mulai dari dominasi proses mediasi di pengadilan, rendahnya kepercayaan publik, keterbatasan regulasi, minimnya insentif ekonomi, hingga kuatnya budaya litigasi.
Untuk itu, Mahkamah Agung, lanjut Dr. Sobandi, telah mengambil langkah progresif, di antaranya menginisiasi pertemuan bersama seluruh lembaga penyelenggara mediator di Indonesia—sebuah pertemuan historis yang diinisiasi langsung oleh Ketua Muda Pembinaan MA, Syamsul Maarif, S.H., L.L.M., Ph.D.
“Keadilan sejati bukan sekadar memenangkan satu pihak, melainkan menyembuhkan luka sosial dan membangun harmoni,” ujarnya, mengutip Nelson Mandela bahwa perdamaian bukanlah ketiadaan konflik, melainkan penciptaan ruang di mana semua dapat berkembang.

Dalam paparannya, Dr. Sobandi menawarkan sejumlah strategi, antara lain penguatan regulasi mediasi, peningkatan pelatihan dan sertifikasi, kolaborasi lintas institusi, pemberian insentif layak, hingga pemanfaatan teknologi digital dan pendekatan berbasis kearifan lokal.
Mengakhiri pidatonya, ia mengajak semua pihak untuk berkolaborasi membangun sistem peradilan yang lebih adil dan berorientasi pada pemulihan, bukan semata hukuman. “Keadilan yang sejati adalah keadilan yang tidak hanya memutus, tetapi juga menyembuhkan,” tandasnya.
Selain Dr. Sobandi, hadir pula sejumlah narasumber lain yang memperkaya forum, antara lain:
Dr. Marsudin Nainggolan, S.H., M.H. (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya) dengan materi “Urgensi UU Mediasi: Pondasi Penyelesaian Sengketa yang Efektif”,
Edy Budianto, S.H., M.H. (Kasi Teroris Pidum Kejati Jatim) tentang “Integrasi Mediasi dan Sistem Peradilan: Sinergi menuju Keadilan Restoratif”,
Prof. Dr. Basuki R. Wibowo, S.H., M.S., C.C.D., C.M.C. (Ketua PMRK) yang membahas “Mediator sebagai Pilar Keadilan: Penguatan Legitimasi Profesi Mediator”,
dan AKBP Dr. Beny Elfian Syah, S.H., M.Hum. (Kasubbidbankum Bidkum Polda Jatim) dengan materi “Peran Mediasi dalam Kasus Tindak Pidana untuk Mewujudkan Restorative Justice”.
Acara ini juga dihadiri oleh tokoh-tokoh penting seperti Prof. Dr. Hj. Hesti Armiwulan, S.H., M.Hum., CMC, CCD; Prof. Dr. Rahmi Jened, S.H., M.H.; Prof. Dr. Mohammad Khoirul Huda, S.H., M.H., CCD, CMC; serta Prof. Dr. Mas Rahma, S.H., M.H., CMC.
Semangat restoratif yang digaungkan dari Surabaya ini menjadi sinyal kuat: keadilan Indonesia tengah bergerak menuju wajah yang lebih memulihkan dan membangun. (RXC/ALN)