Pertempuran Halimun di Tanah Pasundan: Kuningan Vs Sumedang Larang
SUMEDANG – Di balik kabut masa silam, terukir kisah dahsyat yang mengguncang tatar Pasundan. Sebuah riwayat peperangan yang tak hanya melibatkan pedang dan tombak, tapi juga pasukan halimun yang kasat mata.
Inilah kisah pertempuran epik antara Kuningan dan Sumedang Larang, sebagaimana termaktub dalam naskah kuno Babad Dermayu, lembar-lembar tua yang masih berbisik tentang dentang perang dan perjanjian berdarah.
Alkisah, Sumedang Larang kala itu diambang keruntuhan. Serangan bertubi-tubi datang dari arah Kuningan, yang bersekutu dengan Galuh — dua macan tatar yang lapar akan kekuasaan.
Tak hanya pasukan manusia yang mereka kerahkan, tetapi juga dedemit, tentara halimunan yang meringsek tanpa suara, menghantam Sumedang seperti angin badai malam yang membawa kesialan.
Dalam gelapnya malam pertempuran, Sumedang Larang merintih. Sang Raja tahu, bila terus begini, kerajaannya hanya tinggal nama, tercerai di antara puing sejarah. Maka utusan pun dikirim menembus hutan dan rawa menuju Dermayu — negeri pesisir yang saat itu diperintah oleh Raden Wirapati, sang Wiralodra II, lelaki yang namanya seperti mantra pengusir malapetaka.
Tanpa banyak bicara, Wiralodra mengerahkan balatentaranya. Bersamanya turut serta Raden Waringin Anom, keponakan kesayangan, putra dari Nyi Ayu Inten — adik kandung Wiralodra — yang darahnya mengalir setengah manusia, setengah jin, hasil perkawinan dengan Raden Werdinata, penguasa Kerajaan Jin Pulomas.
Seperti kilat menyambar dalam gelap, Waringin Anom menghempaskan pasukan dedemit utusan Kuningan. Konon, tubuhnya membara seperti bara api, dan setiap ayunan kerisnya membelah kabut gaib menjadi kepingan cahaya. Satu persatu tentara tak kasat mata itu luruh ke bumi, seakan langit sudah tak merestui kehadiran mereka di medan laga.
Perang pun kembali seimbang. Tanpa pasukan halimun, Kuningan dan Galuh tak lagi perkasa. Sumedang Larang, bersama Indramayu, membalikkan arus takdir. Serdadu-serdadu Kuningan dipukul mundur, lari terbirit meninggalkan jejak-jejak darah di tanah Sumedang.
Tatkala perang berakhir dan langit kembali biru, sebuah perjanjian suci diukir di bawah sinar bulan. Sebagai wujud terima kasih, Raja Sumedang menikahkan putrinya dengan Wiralodra. Tak hanya itu, sepanjang pesisir utara Jawa, dari Lelea hingga Kandanghaur, diserahkan kepada menantunya itu.
Sejak saat itulah wilayah-wilayah tersebut masuk dalam pangkuan Indramayu, menjadi bagian dari Dermayu yang megah, diwariskan dari tangan ke tangan, dari kisah ke kisah.
Inilah hikayat pertempuran antara langit dan bumi, antara manusia dan yang tak kasat mata. Sebuah peperangan yang bukan sekadar tentang wilayah, tetapi tentang harga diri, janji, dan pertalian darah. Kisah yang abadi dalam bisik Babad Dermayu, abadi dalam denyut tanah Pasundan. (AGS/ALN)