Plastic Love: Ketika Air Mata Tak Lagi Jujur dan Cinta Tak Lagi Murni
Portal Kawasan, SHIBUKAWA – Di tepi Danau Haruna yang sunyi, seorang peziarah rasa bernama Nazar berdiri diam. Bukan mencari ikan atau ilham apalagi semedi, tapi membuang satu hal yang dulu ia percaya: cinta.
Bersama angin yang berdesir di sela-sela pepohonan, ia meluruhkan kenangan yang membebani, melepaskan apa yang disebutnya sebagai “cinta plastik”, sebuah metafora getir tentang hubungan yang indah di luar, tapi rapuh di dalam.
Seperti lagu legendaris Mariya Takeuchi, Plastic Love, kisah ini adalah simfoni patah hati yang mengalun lembut namun menyayat.
“Ekspresi wajahmu, air matamu, bahkan hatimu… plastik.” Begitu katanya. Datar, tapi dalam. Sunyi, tapi tajam.
Tangis tak lagi jujur. Pelukan tak lagi hangat. Dalam relung hatinya, Nazar tahu, ia tak sendiri. Banyak manusia menyimpan luka dengan senyum, menyeka air mata dalam diam. Karena dalam dunia yang berpacu cepat, siapa sempat menangis lama?
Ia mengenang potongan lirik Mariya:
“Aku sudah terbiasa dengan pertemuan dan perpisahan.”
Kalimat itu bukan sekadar nyanyian, melainkan mantra untuk jiwa-jiwa yang terus ditarik oleh elastisnya cinta, sebelum akhirnya… putus.
Kini, di bawah langit Jepang yang mendung, Nazar menulis nazar. Ia ingin menjauh dari ilusi, dari bayang-bayang semu yang pernah ia peluk.
Cinta tak lagi diukir di hati, tapi dibuang—dalam bentuk metaforis ke dasar danau. Biar air yang dingin menelannya, biar waktu menghapus jejaknya.
Karena tidak semua cinta layak untuk dikenang. Ada cinta yang diciptakan hanya untuk dilupakan.
Dan untuk Nazar, cinta itu kini telah tenggelam, bersama plastik yang tak bisa terurai… bahkan oleh waktu.
Penulis : Rey