Ramadhan Dulu dan Kini: Antara Pelita dan Layar Cahaya
Portal Kawasan, JAKARTA – Ramadhan selalu membawa kenangan dan perubahan. Dulu, bulan suci ini diwarnai dengan cahaya obor di gang-gang kecil, suara kentongan yang membangunkan sahur, dan tawa riang anak-anak yang berlarian menuju surau.
Kebersamaan terasa erat, dari shalat tarawih berjamaah hingga permainan sederhana yang menemani waktu menunggu berbuka.

Suara bedug di masjid menjadi panggilan sakral, dan tarawih bersama adalah janji pertemuan selepas berbuka.
Selepas Subuh, mereka berlarian ke surau, mengaji hingga matahari mulai tinggi, lalu bermain petak umpet atau bermain perang sarung serta membuat mainan dari daun kelapa untuk menunggu waktu berbuka, tapi kini mereka lebih gemar menunjukkan jatidirinya melalui aksi anarki alias tawuran.

Kini, anak-anak lebih banyak duduk di sudut rumah, ditemani cahaya lain—bukan obor, bukan lentera, tetapi layar kecil di genggaman. Panggilan sahur bukan lagi dari kentongan, melainkan nada dering ponsel.
Tarawih tak lagi jadi ajang berkumpul, karena banyak yang memilih menghabiskan waktu di dunia maya. Tangan mereka tidak menggenggam buku doa, melainkan sibuk menelusuri layar yang tiada habisnya.

Ramadhan tetap datang dengan keagungannya, tapi cara anak-anak menyambutnya telah berubah. Lentera malam yang dulu menyala di jalan kini redup di sudut gawai.
Namun, semoga semangat Ramadhan tidak ikut pudar—karena sejatinya, bukan soal bagaimana kita menjalani, tetapi bagaimana cahaya ibadah tetap menyala di dalam hati.
Perubahan zaman memang tak terelakkan, tapi makna Ramadhan sejatinya tetap sama. Cahaya ibadah yang dulu menyala di lentera dan surau, kini harus tetap terjaga di dalam hati. Sebab, lebih dari sekadar tradisi, Ramadhan adalah tentang bagaimana kita mendekatkan diri pada-Nya, dengan cara apa pun yang tersedia di zaman kita. (RZK/ALN)