Sepenggal Kisah Syarif Hidayatullah dan Fatahillah
Portal Kawasan, JAKARTA – Syarif Hidayatullah dan Falatehan atau Fatahillah adalah dua sosok yang berbeda. Memang, para sejarawan berbeda pendapat terkait itu.
Sebagai gambaran Fatahillah adalah mantu dari Syarif Hidayatullah. Fatahillah, atau Fadhillah Khan, atau Falatehan (ejaan orang Portugis) juga disebut Tubagus Pase atau Pangeran Jayakarta I. Beliau adalah tokoh penyebar Islam yang memimpin penaklukan Sunda Kelapa pada tahun 1527 dan mengganti namanya menjadi Jayakarta.
Penaklukkan ini adalah salah satu misinya untuk menyebarkan Islam ke wilayah Kerajaan Sunda di Jawa Barat dan mencegah bangsa Portugis membentuk benteng disana.
Fatahillah yang biasa disebut Kyai Fathullah ini adalah seorang ulama dari Pasai Aceh yang hijrah ke Demak. Ia kemudian diangkat Raden Patah sebagai panglima pasukan Demak yang berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon menghadapi Portugis untuk mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa.
Syarif Hidayatullah yang merebut Sunda Kelapa, atau yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati adalah putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam yang menikah dengan Nyi Mas Rara Santang, putri dari Prabu Siliwangi.
Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (India) dan Alwi Ammul Faqih (Hadhramaut).
Dalam silsilah Sunan Gunung Jati menunjukkan adanya keturunan langsung antara beliau dengan Nabi Muhammad Saw.
Sunan Gunung Jati adalah salah satu Wali Songo, yang berjasa besar dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa.
Selain ulama penyebar Islam, ia dikenal sebagai Sultan Cirebon yang memerintah pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Hal itu menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai satu-satunya Wali Songo yang memimpin kerajaan.
Pada 1479, Syarif Hidayatullah menjadi Sultan Cirebon. Di masa pemerintahannya, ia memperluas jangkauan dakwahnya hingga ke daerah Banten. Hingga mendirikan Kerajaan Banten.
Pada 1479, ia menjadi Sultan Cirebon.
Mundur ke belakang, Syarif Hidayatullah semasa mudanya sangat tekun menimba Ilmu agama Islam ke berbagai negeri. Di Makkah, beliau berguru dengan Syekh Tajudin al-Qurtubi.
Begitu lulus, ia tidak langsung pulang ke kampung halamannya. Beliau melanjutkan studinya ke Tunisia, Baghdad, Iran, Irak, dan Mesir.
Saat di Mesir, beliau belajar dengan seorang ulama madzhab syafi’i yang bernama Syekh Muhammad Ataillah al-Syadzli. Atas perintah gurunya, Syarif Hidayatullah diminta untuk berguru ke Indonesia. Saat di Indonesia, ia berguru kepada seorang ulama asal Pasai, Aceh yang bernama Syekh Maulana Ishaq.
Selanjutnya, ia berguru dengan Sunan Ampel di Surabaya. Sunan Ampel melihat potensi besar yang dimiliki Syarif Hidayatullah untuk mengembangkan dan membangun kekuatan sebuah kerajaan.
Dengan nasihat dari Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah diminta untuk mengembangkan Cirebon menjadi kerajaan besar dan berpengaruh. Pertimbangan ini sangat berpengaruh dalam menentukan pembagian daerah kerja Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam.
Saat pulang ke Cirebon, Syarif Hidayatullah disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana. Lalu memintanya untuk berdakwah di seluruh wilayah Pajajaran. Untuk melancarkan dakwahnya, Syarif Hidayatullah diberi gelar oleh Pangeran Cakrabuana dengan nama Syekh Maulana Jati yang sehari-hari dipanggil dengan Syekh Jati.
Kemudian Syarif Hidayatullah berdakwah di daerah Banten untuk mengembangkan syiar agama Islam. Tak sedikit para bangsawan yang masuk agama Islam. Sejak itu, makin mudahlah Syarif Hidayatulah dalam menyebarkan agama Islam.
Setelah meninggalnya Pangeran Cakrabuana, kepemimpinan Kerajaan Cirebon diberikan kepada Syarif Hidayatullah. Sebagai pemimpin kerajaan dan juga pedakwah membuat ajaran Islam berkembang sangat pesar di daerah Jawa Barat. Selain itu, Kerajaan Cirebon tidak lagi harus membayar upeti kepada Raja Pakuan Pajajaran. (STI/ALN)