Tebusan Langit di Tanah Slamet Riyadi IV: Habib Ahmad Serukan Ganjaran Kurban sebagai Jembatan ke Surga
Portal Kawasan, JAKARTA – Jumat pagi yang dibalut embun dan takbir, langit di atas Jalan Slamet Riyadi IV seolah membuka pintu rahmatnya.
Masjid Nurul Islam, seperti pelita dalam kabut dunia, dipenuhi arus manusia yang berbondong-bondong, para peziarah waktu yang ingin menyembelih ego dan menanam taqwa di Hari Raya Idul Adha, Jumat (6/6/2025).

Habib Ahmad bin Muhammad Assegaf, sang penjaga hikmah, berdiri di mimbar laksana matahari kecil yang menghangatkan kalbu.
Dalam khutbahnya yang syahdu, ia menggambarkan kurban bukan sekadar sembelihan, melainkan surat cinta kepada langit, yang dikirim lewat darah yang menetes di bumi.

“Setiap helai bulu hewan kurban adalah saksi. Setiap tetes darahnya adalah tinta yang menulis nama kalian di daftar hamba-hamba yang dicintai Allah,” ujar Habib Ahmad, suaranya menjelma angin yang menyapu debu hati para jamaah.
Lebih dari seratus jamaah, mayoritas warga sekitar Slamet Riyadi IV, melaksanakan sholat Id berjamaah yang juga dipimpin langsung oleh Habib Ahmad.

Mereka datang dari gang-gang kecil dengan pakaian terbaik, membawa serta harapan, kesyukuran, dan niat yang murni. Wajah-wajah mereka bagaikan fajar yang baru terbit, bersinar dengan semangat pengorbanan.
Surat Cinta dari Tanah Kurban: Warga Slamet Riyadi IV dan Panggilan Langit

Dalam khutbahnya, Habib Ahmad mengutip sabda Rasulullah SAW, bahwa tidak ada amalan yang lebih dicintai Allah pada hari-hari ini selain mengalirkan darah kurban.
Ia menegaskan bahwa pahala kurban bukan hanya di hari penyembelihan, tapi berjejak hingga akhirat.

“Kurban adalah jembatan. Di ujungnya bukan hanya surga, tapi ridha Allah. Dan siapa yang menyeberanginya dengan ikhlas, ia tak akan pernah tersesat dalam gelapnya dunia,” ucapnya.
Usai khutbah, gema takbir kembali bergema. Para panitia bersiap menyambut hewan-hewan kurban yang akan disembelih sepanjang hari.
Di sudut halaman masjid, anak-anak memegang tangan orang tuanya dengan mata berbinar, mereka belum mengerti sepenuhnya makna pengorbanan, namun mereka telah melihat cahaya dari hati-hati yang ikhlas.
Hari itu, Masjid Nurul Islam tak hanya menjadi tempat ibadah. Ia menjelma jadi ladang langit, tempat manusia menanam daging, darah, dan air mata, lalu menuainya kelak sebagai ganjaran yang tak akan habis oleh waktu. (AGS/ALN)