Tradisi Nadran dan Dianggir: Ketika Alam dan Warga Karangpakuan Bersatu Sambut Ramadan
Portal Kawasan, JAKARTA – Angin berbisik lembut, membawa kabar suci bahwa Ramadan segera tiba. Sungai yang mengalir tenang seolah ikut menyambut, sementara pepohonan tua menggoyangkan dahannya, menyaksikan warga Karangpakuan yang tengah sibuk mempersiapkan tradisi Nadran, sebuah warisan leluhur yang tak lekang oleh waktu.
Dengan penuh khidmat, warga meracik sesaji. Tumpeng berdiri gagah di tengah hidangan, bubur merah dan putih saling beradu warna, dan kelapa hijau tersenyum di antara kembang tujuh rupa. Aroma kopi pahit dan manis bersatu dalam harmoni, mengundang rasa syukur yang membuncah di dada.
Ketika doa bersama menggema, langit seakan menundukkan dirinya, menyaksikan perjalanan penuh makna menuju Tajug Apung, yang kini terendam dalam pelukan Waduk Jatigede. Ombak kecil bermain-main dengan perahu yang membawa para peziarah, seolah ingin ikut serta dalam perjalanan suci ini.
Sesampainya di Tajug Apung, doa kembali dipanjatkan, mengalun syahdu di antara hembusan angin yang ikut larut dalam kekhusyukan. Tradisi dianggir pun dimulai.

Tanah liat, yang telah menunggu sejak dahulu, dengan lembut menyentuh rambut dan kulit, menghapus lelah serta menyucikan hati. Air yang mengalir ikut berbisik, menyampaikan pesan kebersihan lahir dan batin kepada setiap insan yang mengikuti tradisi ini.
Kepala Desa Karangpakuan, Darmu, menjelaskan bahwa dianggir adalah simbol bebersih. “Dahulu, tanah liat menjadi sahabat bagi mereka yang ingin menyucikan diri. Kini, kita teruskan sebagai pengingat akan kebersihan hati dalam menyambut Ramadan,” ujarnya.
Setelah prosesi dianggir, daun pisang terbuka lebar, menyambut aneka hidangan yang siap dinikmati bersama. Suasana penuh kehangatan menyelimuti warga, sementara angin kembali berhembus, membawa pesan bahwa kebersamaan adalah bagian dari warisan yang harus terus dijaga.

Ajat Sudrajat dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Sumedang pun memberi apresiasi atas lestarinya tradisi ini. “Warisan leluhur ini adalah jati diri kita. Mari kita jaga, agar kelak anak cucu tetap mengenal sejarah dan budaya kita,” katanya.
Malam pun turun perlahan, menyelimuti Karangpakuan dengan cahaya rembulan yang tersenyum di langit. Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi nyawa yang terus menghidupkan budaya, menghubungkan generasi, dan menyambut Ramadan dengan hati yang telah dibersihkan oleh tanah, air, dan doa. (ANG/ALN)