Uang Masjid Nganggur, LPJ Bikin Pusing: DMI Hanya Bisa Menghimbau
Portal Kawasan, JAKARTA – Di sudut kota, masjid-masjid dan mushola berkumpul dalam kebingungan. Dana Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI) sudah turun, tapi siapa yang mau repot ngurus laporan pertanggungjawaban (LPJ)? Toh, zaman dulu nggak seribet ini.
Sebagai nakhoda Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Kebon Mangis, Ludy Nurbito berusaha membimbing armada rumah ibadah yang tersebar di empat RW. Ia berharap ada koordinator masjid di setiap RW, semacam “mercusuar” yang bisa mengarahkan arus kegiatan keagamaan.

Tapi harapan tinggal harapan. Meski sistem sudah dirancang dengan baik, pelaksanaannya masih bergantung pada kondisi keuangan masing-masing masjid dan mushola. “Kalau uangnya seret, gimana mau undang penceramah?” ujarnya, menyadari bahwa kondisi finansial tiap tempat ibadah memang beragam.
DMI pun sebenarnya tidak bisa memaksa. “Ini sifatnya mengimbau,” katanya tegas. “Nggak ada punishment. Nggak bisa tuh kalau ada yang nggak ikut terus kita hukum.” Tandasnya.
Yang menarik lagi, dana BOTI—yang meski dianggap kecil—sudah dialokasikan. Tahun 2024, masjid mendapat Rp1 juta per bulan, sementara mushola hanya Rp750 ribu. Tahun ini naik jadi Rp1,4 juta untuk masjid dan Rp1 juta untuk mushola. Tapi, ada masalah: dananya belum turun.

Kenapa? Karena BPK turun tangan. Laporan LPJ tahun 2024 sedang diperiksa. Dan yang mengejutkan, ada temuan! Tapi, tenang, DMI Kebun Mangis justru bersyukur. “Alhamdulillah, ada temuan. Kenapa? Karena kalau nggak ada temuan, malah aneh,” katanya dengan nada sarkas.
Sebagian masjid dan mushola masih enggan mengurus LPJ, entah karena ribet atau memang belum terbiasa dengan sistem digital. “Sekarang laporan lewat aplikasi. Udah nggak bisa pakai hard copy,” jelasnya. “Masalahnya, banyak yang masih berpikir ini zaman dulu, bukan zaman sekarang.”
Untuk menyelamatkan kondisi ini, DMI berharap masjid bisa lebih mandiri pada 2025. “Harus ada orang IT di dalamnya. Anak SMP juga bisa kok bikin laporan, asal bond disimpan!” katanya. Sayangnya, banyak masjid yang justru kehilangan bukti transaksi.
Ironisnya, di tengah antrean panjang tempat ibadah yang berharap dana BOTI, ada yang malah membiarkan uangnya diam tak tersentuh. “Udah diturunin, kok nggak diambil?” keluhnya. “Orang lain susah payah minta, lha ini malah nggak diurus.”
DMI akhirnya hanya bisa berperan sebagai penyelamat dadakan, membantu menyusun LPJ agar dana tetap bisa tersalurkan. “Saya bantu nyariin bond, jujur, demi menyelamatkan masjid ini,” akunya.

Sementara itu, sistem koordinasi masih penuh drama. Tahun 2024, laporan dari DKM seharusnya masuk ke DMI sebelum diteruskan ke tingkat cabang. Tapi, karena tidak ada tanda tangan ranting, semuanya bypass begitu saja. “Jadi kacau, kan?” katanya, setengah geli setengah prihatin.
Maka, tugas DMI pun bukan sekadar mengawasi, tapi juga menjadi “pemadam kebakaran”. Sebab, kalau laporan berantakan, cabang bisa ikut jatuh bangun. “Bayangkan kalau 17 masjid, lima di antaranya bermasalah. Bisa repot semuanya!” tutupnya.
Masjid dan mushola pun kini berada di persimpangan: mau mengikuti aturan zaman sekarang atau terus bernostalgia dengan “zaman dulu”? Sementara itu, BOTI tetap menunggu untuk diambil—asal ada yang mau mengurus LPJ-nya. (RZK/AGS/ALN)