Zakat Itu Maslahat, Bukan Profit: Kritik Dr. Irfan atas Komersialisasi
Portal Kawasan, JAKARTA – Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Dr. Irfan Syauqi Beik, menegaskan bahwa zakat tidak boleh dikelola dengan pendekatan bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Menurutnya, zakat harus dikembalikan pada tujuannya yang bersifat maslahat dan spiritual, bukan sekadar efisiensi atau profit.
“Zakat memiliki dimensi spiritual, sosial-ekonomi, dan politik. Maka tidak bisa dipaksakan tunduk pada logika bisnis yang profit-oriented. Zakat itu maslahat-oriented, bahkan zero profit,” ujar Irfan melalui keterang pers yang diterima, Kamis (29/5).
Zakat Bukan Produk Finansial, Tapi Perintah Ilahiah
Irfan mengingatkan bahwa pendekatan komersial yang diterapkan dalam pengelolaan zakat justru dapat mengaburkan esensi zakat itu sendiri. Ia menolak keras anggapan bahwa zakat bisa diperlakukan layaknya instrumen pasar bebas yang tunduk pada mekanisme kompetisi.
“Zakat bukan arena untuk merger, akuisisi, atau efisiensi kompetitif seperti dalam dunia bisnis. Ini bukan soal menang dan kalah. Ini soal keadilan sosial dan kewajiban agama,” tegasnya.
Dalam pandangannya, zakat juga tidak bisa disamakan dengan konsep filantropi yang berbasis kedermawanan. “Filantropi itu sukarela. Zakat itu wajib. Maka logikanya berbeda. Zakat bukan soal kebaikan hati, tapi perintah agama yang mengikat,” tambahnya.
Lebih jauh, Irfan mendorong agar ekosistem zakat di Indonesia dibangun secara terpadu, dengan kolaborasi antara negara dan masyarakat.
Zakat Itu Tim Nasional, Bukan Liga Bisnis
Menurutnya, peran BAZNAS dan lembaga-lembaga zakat lainnya harus diselaraskan, bukan dipertentangkan.
“Zakat bukan sektor yang butuh regulator sebagai wasit antar pemain. Yang lebih tepat adalah analogi tim nasional: satu kesebelasan, satu tujuan, dengan negara sebagai kapten dan masyarakat sebagai bagian dari tim,” ujarnya.
Dengan pendekatan seperti itu, kata Irfan, Indonesia berpeluang besar menjadi model pengelolaan zakat yang ideal di dunia. Kuncinya, membangun sinergi antarpemangku kepentingan, bukan kompetisi antar lembaga.
“Yang kita perlukan bukan lembaga yang saling bersaing, tapi sistem yang mampu mengintegrasikan peran negara dan masyarakat dalam satu gerak yang utuh,” tandasnya. (AGS/ALN)