Hutang Puasa: Utang Langit yang Harus Dilunasi
Portal Kawasan, JAKARTA – Di langit Ramadan yang suci, setiap Muslim diberi amanah untuk berpuasa, menahan lapar dan dahaga demi meraih ridha Ilahi.
Namun, ada kalanya perjalanan hidup membuat seseorang tergelincir dari kewajiban itu—sakit, bepergian jauh, atau alasan lain yang dibenarkan syariat. Maka, tertulislah sebuah catatan di buku takdir: hutang puasa.
Layaknya utang emas kepada manusia, hutang puasa adalah janji yang menanti untuk ditepati. Ia tidak hilang begitu saja, tak bisa dibiarkan mengendap seperti embun pagi yang lenyap oleh mentari. Ada dua jalan untuk melunasinya: qadha dan fidyah, tergantung pada siapa yang berhutang.
Qadha: Membayar dengan Waktu
Bagi mereka yang masih memiliki tenaga dan kesempatan, hutang puasa harus ditebus dengan puasa di luar Ramadan. Ini seperti menanam kembali benih yang sempat terlewat pada musim sebelumnya—agar kebun amal tetap subur.
Waktu pembayaran ini terbentang hingga sebelum Ramadan berikutnya tiba. Namun, siapa yang ingin menunda hingga detik terakhir? Sebab, menunda hutang adalah beban yang semakin berat di pundak.
Fidyah: Menyuburkan Ladang Amal dengan Sedekah
Bagi mereka yang tak lagi mampu berpuasa—seperti orang tua renta atau yang sakit berkepanjangan—jalan lain terbuka: membayar fidyah. Ini ibarat menggantikan benih yang tak bisa tumbuh dengan memberi makan mereka yang membutuhkan.
Sehari tak berpuasa, maka satu orang miskin berhak menerima makanan sebagai tebusan.
Namun, satu hal yang harus diingat: hutang ini bukan sekadar angka atau kewajiban administratif. Ia adalah titipan amanah, janji kepada Sang Pencipta.
Seperti awan yang tak bisa menghindari takdirnya untuk mencurahkan hujan, demikian pula seorang Muslim tak bisa lepas dari tanggung jawab menunaikan hutang puasanya.
Ramadan boleh berlalu, tetapi jejaknya tetap ada. Maka, sebelum datangnya Ramadan berikutnya, mari lunasi janji yang tertinggal, agar langit amal tetap bersih, tanpa awan hutang yang menggantung. (RZK/ALN)