Bongsang, Anyaman Bambu yang Bertahan di Tengah Gempuran Zaman
Portal Kawasan, CIANJUR – Di sebuah sudut Kampung Ciherang, Desa Susukan, Kecamatan Cempaka, anyaman bambu terus berbisik lirih di tangan Uum (65). Ia tak lelah menari bersama bilah bambu, membentuk bongsang yang setia menjadi wadah makanan sejak dulu.
Bongsang, yang dulu menjadi primadona pembungkus makanan, kini harus bersaing dengan plastik dan styrofoam. Namun, Uum tak gentar.

Jemarinya tetap lincah, menganyam satu per satu potongan bambu menjadi keranjang yang kokoh. “Sejak kecil, saya sudah membuat bongsang. Dulu bantu-bantu orang tua,” kenangnya.
Meski bukan pekerjaan utama, bongsang tetap menjadi bagian dari hidupnya. “Saya lebih banyak di sawah, tapi kalau ada waktu senggang, saya buat bongsang,” ujarnya.

Jika benar-benar ditekuni, dalam sehari Uum bisa menghasilkan hingga 100 bongsang dengan berbagai ukuran—kecil, sedang, dan besar. Harga pun bervariasi, mulai dari Rp300 hingga Rp450 per buah, tergantung permintaan pengepul.
Prosesnya bukan sekadar merangkai bilah bambu. Ada tahapan panjang yang harus dilewati—memotong, membelah, menyerut, lalu menganyam dengan telaten. Setiap helai bambu seakan bercerita, bahwa keahlian ini bukan sekadar pekerjaan, tetapi warisan yang terus hidup.
Meski zaman terus berubah, bongsang tetap punya tempat. Apalagi menjelang Idul Adha, permintaannya meningkat karena bongsang menjadi alternatif ramah lingkungan untuk membungkus daging kurban.
Di tengah derasnya arus modernisasi, bongsang tetap bertahan, berkat tangan-tangan setia seperti Uum. Anyaman itu bukan sekadar kerajinan, tetapi kisah keteguhan yang terus mengalir, mengikuti zaman tanpa kehilangan jati diri. (RZK/ALN)