RUU TNI: Ketakutan Demokrasi di Bawah Bayang-Bayang Seragam Loreng
Portal Kawasan, JAKARTA – Jalanan ibu kota bergetar. Ribuan langkah kaki menggetarkan aspal di Jalan S. Parman, bergerak dengan satu suara: menolak pengesahan RUU TNI.
Seolah-olah jalan itu sendiri ikut resah, menyaksikan gelombang manusia yang memenuhi ruangnya dengan pekik perjuangan.
Gedung DPR RI, yang berdiri kokoh di Senayan, seakan menyipitkan mata di bawah terik matahari. Ia menjadi saksi bisu atas gelombang protes yang mengalir deras ke arahnya.

Massa dari berbagai elemen masyarakat datang bukan sekadar berkumpul, tetapi membawa ketakutan yang telah lama berakar: kembalinya dwifungsi TNI, bayangan yang menghantui sejak era Orde Baru.
RUU TNI 2025, yang sedang digodok di ruang-ruang parlemen, dipandang sebagai pintu yang bisa membawa kembali militer ke ranah sipil.
Seperti api dalam sekam, kekhawatiran itu membesar ketika ditemukan pasal-pasal yang memperluas peran TNI dalam kehidupan sipil dan politik.
Beberapa pasal yang sebelumnya membatasi jabatan militer aktif di 10 lembaga sipil kini diperlebar menjadi 16. Seakan-akan seragam loreng tengah bersiap mengambil tempat di kursi-kursi yang seharusnya dihuni oleh sipil.

Di bawah panasnya matahari, massa aksi berteriak lantang. Tujuh tuntutan mereka bergema di udara, menyelinap di antara gedung-gedung tinggi:
1. Menolak revisi UU TNI.
2. Menolak dwifungsi militer.
3. Menarik militer dari jabatan sipil dan mengembalikan TNI ke barak.
4. Menuntut reformasi institusi TNI.
5. Membubarkan komando teritorial.
6. Mengusut tuntas korupsi dan bisnis militer.
7. Menghentikan segala bentuk dominasi militer dalam kehidupan sipil.
Langit Senayan seperti mengerutkan dahi saat ribuan suara menyatu. Gedung DPR berdiri tegak, seakan tak terpengaruh, namun temboknya pasti mendengar.

Sementara itu, aparat keamanan berjumlah lebih dari lima ribu personel disiagakan, membentuk lapisan-lapisan pelindung di sekitar parlemen.
Di berbagai penjuru negeri, gema penolakan tak hanya berhenti di Jakarta. Dari Aceh hingga Bali, gelombang aksi serupa menggulung jalanan.
Media sosial BEM SI bergetar dengan seruan perlawanan, membuktikan bahwa demokrasi masih bernapas, meskipun dalam kepungan ketakutan akan kembalinya bayang-bayang masa lalu.
Hari ini, Jakarta bicara. Rakyat bicara. Tapi, apakah parlemen mendengar? (AGS/ALN)