Jejak Sang Maharaja: Ketika Hati Menjadi Tahta di Tanah Pajajaran
PAKUAN PAJAJARAN – Di jantung rimba barat Pulau Jawa, tempat embun menyatu dengan harum tanah dan burung-burung bersenandung di antara rerimbun bambu, berdiri sebuah kerajaan yang tak hanya dibangun dengan batu dan kayu, tapi juga dengan cinta dan kebijaksanaan.
Ia bernama Kerajaan Sunda, negeri yang dulunya bernafas bersama angin dan berdetak seirama dengan nurani pemimpinnya.
Dari antara para penguasa yang pernah bertakhta di sana, satu nama terus mengalun seperti mantra yang tak lekang oleh waktu: Sri Baduga Maharaja, atau lebih dikenal oleh rakyatnya dengan sebutan yang penuh kasih dan hormat, Prabu Siliwangi.
Aku tidak ingin menjadi raja yang ditakuti. Aku ingin menjadi raja yang dirindukan.”
Kalimat ini bukan sekadar ucapan. Ia adalah kompas yang menuntun arah kepemimpinan Sang Prabu. Di bawah panjinya, Pajajaran mencapai puncak keemasan: jalan-jalan dibuka seperti nadi yang mengalirkan kehidupan, irigasi dibangun bagaikan nadi bumi yang memberi napas pada sawah-sawah hijau, dan rakyat hidup seperti pohon rindang yang tumbuh dalam damai dan keteduhan.
Namun, keagungan Prabu Siliwangi tidak terletak pada mahkota di kepalanya, melainkan pada ketenangan dalam jiwanya. Ia bukan hanya seorang raja, tapi penuntun jiwa; bukan sekadar pemimpin, tapi guru dalam senyap.
Ia memerintah bukan dengan suara tinggi, tapi dengan kebijaksanaan yang mengalir tenang, seperti sungai yang tidak pernah bertanya kepada bebatuan mengapa mereka ada, tapi tetap mengalir melewatinya.
Pakuan Pajajaran: Ibu Kota yang Bernapas
Tak seperti kota megah penuh menara menjulang, ibu kota Pakuan Pajajaran hidup sederhana namun bermartabat. Suaranya bukan deru perang, melainkan nyanyian gamelan dari pendopo, canda anak-anak di pasar, dan sapaan hangat antar sesama.
Seni dan sastra tumbuh subur seperti padi di musim hujan. Di pinggir sungai, resi dan pendeta dari pelosok nusantara duduk bersila, bukan untuk merencanakan penaklukan, tetapi untuk mendalami kebijaksanaan Sunda. Di sini, pengetahuan dihormati, bukan dipamerkan.
Perang yang Tak Pernah Diinginkan
Namun seperti langit yang kadang diliputi awan kelabu, damai pun tak selalu abadi. Tragedi Perang Bubat datang bak badai yang menyambar di musim terang. Putri kerajaan hendak dipersunting oleh raja Majapahit, namun penghinaan justru membakar kehormatan.
Darah pun tumpah, bukan demi ambisi, tapi demi martabat. Namun Prabu Siliwangi, yang bisa saja membalas dengan perang besar, memilih jalan sunyi.
Ia pergi menyepi, bertapa dalam hening yang agung, hingga akhirnya menghilang dari pandangan, menyatu dengan legenda.
Sebagian berkata, ia moksha, raja yang tidak mati, hanya berpindah wujud. Sebagian lagi yakin, ia menanti, dan akan kembali ketika bumi Sunda kembali memanggil.
Sunda: Kerajaan yang Hidup dalam Dada
Kini, Kerajaan Sunda memang tak lagi berdiri secara nyata. Tapi arwahnya hidup dalam tiap desir angin di tatar Pasundan. Ia menyelinap dalam nada degung, dalam getaran bambu angklung, dalam tutur halus dan sopan santun yang diwariskan dari leluhur ke cucu.
Silih asah, silih asih, silih asuh, ajaran yang bukan sekadar petuah, tapi denyut nadi sebuah peradaban.
Sebab sejatinya, sebuah kerajaan tidak selalu berdiri di atas tanah. Ia bisa hidup dalam hati mereka yang menjaga, dalam jiwa mereka yang mengingat, dan dalam laku mereka yang mencintai.
Dan selama Prabu Siliwangi masih dirindukan, Pajajaran tak akan pernah benar-benar hilang. (AGS/ALN)