Displaced Journalists: Ketika Profesi Wartawan Digeser Algoritma dan Ketamakan Platform
JAKARTA – Dunia jurnalistik tengah berada di persimpangan paling sunyi dalam sejarah modern. Ratusan, bahkan ribuan wartawan kehilangan profesinya, bukan karena mereka gagal, tetapi karena sistem yang mengusir mereka secara massal.
Fenomena Displaced Journalists bukan sekadar tren sementara, ini adalah wajah baru dari krisis struktural yang melanda industri media, di Indonesia dan di seluruh dunia.
Dalam satu tahun terakhir, lebih dari 1.200 wartawan di Indonesia terkena PHK, dari media sebesar Kompas hingga Tribun Grup. Ini bukan hanya soal efisiensi. Ini adalah soal nilai, tentang bagaimana berita yang faktual dan beretika perlahan dikalahkan oleh konten cepat, viral, dan dangkal.
Displaced Journalists adalah mereka yang menguasai reportase, kode etik, dan logika verifikasi. Tapi mereka tidak lagi “terbeli”. Pasar tenaga kerja lebih memilih mesin: lebih murah, lebih cepat, lebih patuh. Model bisnis media ambruk, pendapatan iklan digerus oleh Meta dan Google, sementara publik kian enggan membayar berita berkualitas.
Ini bukan sekadar revolusi industri; ini amputasi peradaban informasi.
Apakah mereka menyerah? Tidak semua. Sebagian bertahan. Mereka membangun kanal independen di Substack, YouTube, hingga podcast investigatif. Mereka menggunakan AI, bukan untuk ditakuti, tapi untuk dimanfaatkan. Mereka menulis bukan untuk kantor berita, tapi untuk nurani pembaca.
Namun mari kita jujur: perjuangan ini tidak mudah. Tanpa jaminan finansial, banyak yang terpaksa berpindah profesi. Mereka yang bertahan, hidup dalam ketidakpastian. Pertanyaannya: apakah dunia yang kita bangun ini layak ditinggali oleh para pencari kebenaran?
Jika kita percaya bahwa demokrasi butuh jurnalisme, maka membiarkan jurnalis terbaik terpinggirkan adalah pengkhianatan terhadap demokrasi itu sendiri.
Kita butuh solusi, bukan belas kasihan. Di era digital, peluang baru memang ada: blockchain, Web3, crowdfunding. Tapi ini hanya bisa tumbuh jika ada dukungan kolektif, dari pembaca, dari komunitas, dan dari negara.
Jika tidak, maka “Angkatan Displaced Journalists” akan menjadi generasi hilang, bukan karena mereka tak mampu, tapi karena dunia menolak mendengar suara mereka.
Sekarang saatnya memilih: membiarkan pena-pena ini terkubur dalam algoritma, atau memberi mereka tanah baru untuk tumbuh, dan menyalakan kembali cahaya di tengah gelapnya informasi. (AGS/ALN)