Tokoroten: Mi Jeli dari Laut yang Menyelinap di Celah Budaya dan Lidah Dunia
Portal Kawasan, Gunma, Jepang – Di balik gemerlap lampu-lampu ramen shop Tokyo dan sorak sorai izakaya Osaka, terselip satu artefak kuliner yang nyaris terkubur dalam diam, tokoroten.
Ia bukan sekadar mi jeli bening dari agar-agar. Ia adalah peninggalan sejarah yang licin seperti politik, dingin seperti musim panas Jepang, dan nyaris tak berasa, namun justru di sanalah letak konspirasinya: membuat siapa pun bertanya-tanya, “Mengapa makanan seperti ini bertahan selama lebih dari seribu tahun?”
Tokoroten bukan makanan. Ia adalah teka-teki budaya dalam bentuk jeli, sebuah hantu kuliner dari zaman Heian yang masih bergentayangan di mangkuk-mangkuk kecil di Gunma hingga Kyoto. Ia muncul diam-diam di musim panas, ketika keringat menggantikan hujan dan tubuh manusia haus bukan hanya akan air, tetapi akan sensasi, dan tokoroten menjawabnya bukan dengan rasa, melainkan dengan perlawanan terhadap ekspektasi.

Makanan atau Meditasi?
Dibuat dari tengusa, rumput laut yang direbus hingga mengeluarkan sari kehidupannya, tokoroten mengeras seperti tekad biksu tua di lereng gunung. Ditekan menggunakan tokoroten-tsuki, jeli ini berubah wujud menjadi helai-helai mi bening tak bersuara. Rasanya? Hambar.
Teksturnya? Terlalu halus untuk dipercaya. Tapi jangan tertipu. Justru karena ketelanjangannya dari rasa, tokoroten menjadi kanvas kosong bagi setiap budaya dan lidah yang menyentuhnya.
Pecahnya Dua Dunia: Timur Gurih, Barat Manis
Di Jepang bagian timur, tokoroten ditenggelamkan dalam sanbaizu, cuka, mirin, dan kecap asin, paduan rasa yang menggigit lidah seperti teguran keras dari seorang guru Zen. Di bagian barat, ia berubah haluan: dari filsafat menjadi hiburan.
Disiram kuromitsu dan ditaburi kinako, tokoroten menjelma menjadi hidangan penutup yang lembut dan manis, manipulatif seperti puisi yang menyembunyikan luka di balik metafora.
Itu belum cukup. Karena bahkan dalam keheningan penyajiannya, tokoroten memaksamu menghadapi satu ujian kecil: menyantapnya hanya dengan satu batang sumpit. Bukan gimmick. Ini ritual. Ini tantangan. Ini renungan diam-diam tentang bagaimana kita memperlakukan makanan, rasa, dan hidup.
Karena memegang satu sumpit untuk mengangkat sesuatu yang licin adalah latihan kesabaran, atau mungkin bentuk penghinaan halus dari budaya yang tak sudi menjual tradisinya hanya untuk kemudahan.

Kritik Tersembunyi dalam Satu Mangkuk
Di tengah budaya makanan cepat saji yang mendewakan rasa instan, tokoroten adalah tamparan. Ia menolak menjadi lezat dalam sekali gigit. Ia menolak bumbu berlebihan. Ia memaksa kita untuk mengalami, bukan hanya mengunyah. Inilah makanan yang bukan diciptakan untuk viral, tapi untuk diam-diam mengakar dalam memori.
Sebagai orang Indonesia yang tumbuh dengan rendang, sambal, dan gulai yang meledak-ledak di mulut, Nazar Akagi menganggap tokoroten sebagai anti-makanan. Tapi justru karena itu, dia makan dua mangkuk.
Dia juga menambahkan boncabe dari tanah air, seolah mencoba menyabotase keheningannya. Tapi tokoroten tetap berdiri kokoh, dingin, hambar, dan tak terusik.

Kesimpulan: Keangkuhan dalam Kesederhanaan
Tokoroten bukan sekadar mi jeli. Ia adalah ironi. Ia adalah sindiran halus dari budaya yang sudah lelah menjelaskan dirinya kepada dunia. Dan mungkin, hanya mungkin, ia adalah metafora dari Jepang sendiri: diam, lembut, tetapi dengan sejarah ribuan tahun yang terus mengalir di balik permukaannya yang tenang.
Jika dunia kuliner adalah panggung sandiwara, maka tokoroten adalah aktor bisu yang kehadirannya membuat penonton terdiam. Dan kadang, dalam keheningan itu, kita menemukan rasa yang selama ini tak pernah kita cari.
Kontributor : Nazar Akagi