Cahaya Ramadhan di Tengah Kabut Wabah: Saat Umat Islam Menjadi Pelita bagi Eropa
Portal Kawasan, JAKARTA – Di tengah senja yang meremang, ketika mentari masih enggan berpamitan, benua biru kembali dihantui oleh bayang-bayang kelam.
Sebuah wabah yang merayap tanpa suara menyelimuti kota-kota megah Eropa, menyelinap di antara gang-gang sempit dan alun-alun yang dulu ramai. Ketakutan bersemi, harapan layu, dan dunia terasa kehilangan denyutnya.
Namun, di tengah gulita yang nyaris melahap segalanya, datanglah seberkas cahaya dari timur. Ramadhan, bulan yang membawa keberkahan bagi umat Islam, menyinari malam-malam yang sunyi.
Tak sekadar menyalakan lentera dalam jiwa, umat Islam di Eropa justru menjadi cahaya bagi mereka yang tersesat dalam kekhawatiran.
Saat orang-orang terkepung di rumah mereka, takut melangkah keluar, para relawan Muslim menyingsingkan lengan baju. Mereka adalah dokter, perawat, dan pekerja sosial yang berpuasa di siang hari, namun tetap sigap merawat yang sakit di malamnya. Klinik dan rumah sakit menjadi medan jihad mereka, di mana lapar dan dahaga tak menggoyahkan tekad mereka untuk menyelamatkan nyawa.
Di dapur-dapur kecil, tangan-tangan lembut menyusun paket makanan bagi mereka yang terkurung. Aroma rempah dari dapur-dapur Muslim menyusup ke lorong-lorong Eropa yang dingin, menyatukan manusia tanpa memandang suku dan agama. Mereka yang tak memiliki apa-apa kini diselimuti kehangatan kasih sayang dari saudara-saudara Muslim mereka.
Masjid-masjid yang dahulu menjadi rumah doa kini beralih fungsi menjadi pusat bantuan. Sajadah-sajadah yang biasa menjadi tempat bersujud, kini menjadi alas bagi mereka yang kelelahan.
Doa-doa yang mengalun dalam keheningan malam bukan hanya untuk sesama Muslim, tetapi untuk seluruh umat manusia, tanpa sekat dan batas.
Dan perlahan, seperti fajar yang tak pernah ingkar pada janji terbitnya, Eropa mulai menemukan kembali harapannya. Wabah yang semula begitu beringas mulai melemah, bukan hanya oleh kekuatan medis, tetapi juga oleh gelombang kepedulian yang lahir dari semangat Ramadhan.
Di akhir bulan suci itu, ketika takbir menggema dari bibir-bibir yang letih, Eropa menyadari bahwa di balik perbedaan yang selama ini membentang, ada satu bahasa yang bisa menyatukan mereka: kemanusiaan.
Umat Islam bukan lagi sekadar bagian dari Eropa—mereka adalah nadinya, denyut yang menghidupkan kembali harapan di tengah kabut ketakutan.
Ramadhan pun berlalu, meninggalkan jejak yang tak akan terhapus oleh waktu. Sebuah kisah tentang bagaimana cahaya dari timur menyelamatkan barat, dan bagaimana kasih sayang selalu mampu mengalahkan gelapnya wabah. (AGS/ALN)